Karakteristik Konselor yang Efektif part 2


Karakteristik Konselor yang Efektif part 2
 


Karakteristik Konselor yang Efektif Menurut Baruth dan Robinson III

Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa karakteristik konselor yang efektif sebagai berikut:
1.  Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
2. Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya.
3. Mampu “menjangkau” ke dalam dan ke luar.
4. Berkeinginan mengomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya.
5. Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.
6. Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya
7. Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibantunya tanpa menerapkan value judgments
8. Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka sistem
9. Tidak ketinggalan zaman dan memilki pandangan luas tentang hal-hal yang terjadi di dunia
10. Mampu mengindetifikasi pola-pola tingkah laku yang self-defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan
11. Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak defensive terhadap pertanyaan “Siapakah saya?”


Baruth dan Robinsons III (1987) menyebut masalah “pengetahuan” tentang suatu bidang yang mempunyai makna bagi klien. Seorang konselor yang bergerak di bidang keluarga berencana, misalnya, harus memahami berbagai aspek keluarga berencana, seperti apa gunanya merencanakan keluarga, apa keuntungannya dan kerugiannya, fungsi-fungsi alat reproduksi perempuan dan laki-laki, dll. Tergantung dari bidang yang ditekininya, maka seorang konselor harus mempunyai pengetahuan tentang bidang tersebut.Seorang career counselor yang bergerak di bidang pekerjaan, tentunya harus tahu tentang berbagai macam bidang pekerjaan yang ada di masyarakat tempat individu itu tinggal.Karena itulah, tidak semua konselor siap melakukan konseling untuk semua hal.

Hackney dan Cormier (2001), menulis tentang karakteristik para penolong yang efektif. Ia mengatakan bahwa meskipun penelitian-penelitian tentang evektivitas konseling tidak meunjukkan bukti-bukti yang jelas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konseling, tetapi literature professional secara konsisten memberi penekanan pada pentingnya karakteristik konselor untuk suksesnya konseling.


Karakteristik Konselor yang Efektif Menurut  Hackney dan Cornier
Hackney dan Cornier menyebutkan karakteristik-karakteristik  konselor yang efektif sebagai berikut (Lesmana, 2008):
•    Kesadaran tentang diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri
•    Kesehatan psikologis yang baik
•    Sensivitas terhadap dan pemahaman tentang faktor-faktor rasial, etnik dan budaya dalam diri sendiri dan orang lain
•    Keterbukaan (open-mindedness)
•    Objektivitas
•    Kompetensi
•    Dapat dipercaya (trustworthiness)
•    Interpersonal attractiveness

A. Kesadaran Tentang Dan Diri Dan Pemahaman
Konselor harus sadar akan
1.    Berbagai kebutuhannya (misalnya kebutuhan untuk memberi, mengasuh, disukai, menyenangkan orang lain, dicintai, dapat mengendalikan, dll)
2.    Motivasinya untuk membantu (misalnya, apa yang didapat dengan menolong orang lain)
3.    Perasaan-perasaan yang dipunyainya (misalnya, puas, sakit hati, bahagia, kecewa, bingung, takut, dll)
4.    Kekuatan-kekuatan dan asset pribadi dan keterampilan coping (misalnya, apa yang paling disukai dari diri sendiri, bagaimana menyelesaikan kesulitan dari stress, dll)

Dengan menyadari dan memahami diri sendiri, konselor tidak menjadi detensif menghadapi kliennya.Ia dapat menanggapi klien tanpa terbawa oleh rasa tidak aman yang dipunyainya.

B. Kesehatan Psikologis yang Baik
Konselor yang utuh secara psikologis dan tidak terpengaruh oleh masalah-masalahnya yang berat dan rumit akan lebih mampu membantu kliennya. Hackney dan Cormier (2001) mengatakan bahwa ada hasil penelitian yang menujukkan bahwa psikiater, psikolog, dan psikoterapis ditemukan taraf depresi, anxietas, dan masalah relasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Lebih parah lagi, para konselor ini sering tidak menyadari bahwa kesehatan psikologisnya marginal, atau kalaupun dia sadar, dia tidak mencari pertolongan dan terus melakukan konseling justru sebagai mekanisme pertahanan terhadap masalahnya.

Seorang konselor yang membawa beban masalah didalam dirinya akan sulit untuk mendengarkan kliennya dengan objektif. Proses komunikasi dengan klien akan terhambat oleh kurangnya kemampuannya untuk berkonsentrasi. Stewart dan Cash (2000) menggolongkan masalah pribadi yang mencekam konselor kedalam kategori noise, yakni segala sesuatu yang merintangi proses komunikasi, yang akan menghambat relasi konselor dengan klien.

C. Sensivitas Terhadap dan Pemahaman Faktor Rasial, Etnik, dan Budaya dalam Diri Sendiri dan Orang Lain

Setiap manusia hidup di dalam beberapa “lingkungan”, dan masing-masing lingkungan membawa pengaruh kepada individu.Misalnya seorang remaja dan laki-laki. Remaja dan laki-laki sudah merupakan dua “lingkungan budaya”.Belum lagi di negara seperti Indonesia, yang multietnik dan multiagama, pengaruh dari tradisi, adat, dan nilai-nilai yang berbeda tidak dapat dihindari oleh individu.Seorang konselor harus sangat sensitive terhadap isu-isu semacam ini.Belum lagi variasi-variasi yang terjadi dalam suatu suku bangsa atau subbudaya.Ia harus memahami bahwa ia hidup di dalam konteks lingkunagan yang sangat kompleks dan bahwa faktor-faktor ini mempengaruhi dirinya sendiri dan kliennya. Karena inilah seorang konselor harus mempunyai keterbukaan yang tinggi, kemauan dan untuk menerima diversivitas yang ada disekelilingnya.

D. Keterbukaan (Open-Mindedness)
Keterbukaan mengisyaratkan adanya keterbebasan dari ide-ide yang terpatri kuat dan prasangka-prasangka serta pengetahuan tentang dunia yang ada di luar konselor. Keterbukaan mempunyai beberapa mempunyai beberapa fungsi penting dalam konseling menurut Hackney dan Cormier (2001), seorang konselor yang memiliki keterbukaan, dapat mengakomodasi perasaan, sikap dan tingkah laku klien yang berbeda dengan dirinya, memungkinkan konselor untuk berinteraksi dengan berbagai macam jenis klien, dan akhirnya, ketrbukaan merupakan merupakan persyaratan untuk komunikasi yang jujur.

Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa orang yang kurang terbuka, sulit mengubah pemikirannya tentang sesuatu dan meskipun ada bukti-bukti yang sebaliknya, tetap bertahan dengan ide semula yang sudah terpatri dalam pikirannya. Dengan perkiraan lain, seorang konselor harus bersedia membuka diri untuk segala macam pengalaman yang ada. Ia harus selalu berusaha memperkaya dirinya dengan berbagai macam pengetahuan. Ia harus bisa menerima bahwa ada berbagai macam pengalaman di dunia, bukan dirinya atau kelompoknya yang satu-satuna benar. Ada norma-norma lain di dunia, dan ia harus bisa menerimanya. Norma yang dianutnya bukan satu-satunya yang benar.

E. Objektivitas
Objektivitas mengacu pada kemampuan untuk melibatkan diri dengan klien di satu pihak, tetapi juga pada saat yang bersamaan berdiri di kejauhan dan melihat dengan akurat apa yang terjadi dengan kliennya dan hubungannya. Merupakan komponen dari empati, seperti yang dikatakan Rogers (1957), kemampuan untuk melihat masalah klien seakan-akan masalahnya sendiri.

Objektivitas juga menyelamatkan konselor dari klien yang manipulative, mencegah pola komunikasi yang disfungsional. Objektivitas juga akan memagari konselor dari perasaan-perasaan emosional disfungsional terhadap dan tentang kliennya. Menjaga konselor dari terjadinya counter-transferences, dan timbulnya perasaan-perasaan romantic dan ketertarikan seksual terhadap klien. Yang harus dipunyai oleh seorang konselor adalah involved and caring objectivity.

F. Kompetensi
Menurut Egan (1998), kompetensi menunjuk kepada apakah konselor mempunyai pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk membantu. Tingkah laku konselor ditentukan oleh bagaiman hasil akhirnya dan tidak boleh kebaikan oleh tingkah lakunya. Kompetensi berhubungan dengan pengethauan yang menyangkut proses psikologis, asesmen, etik, keterampilan klinis, kemampuan untuk menilai, efektivitas pribadi. Dan tentu saja kompetensi untuk berpikir multicultural.

Menurut Brammer, Abrego dan Shostrom (1993), efektivitas konseling adalah maksimal bila konselor menunjukkan keseimbangan dalam 2 komponen, yaitu personal relationship skills dan technical qualifications. Berarti seorang konselor yang efektif harus memahami berbagai teknik yang efektif untuk perubahan tingkah laku, tetapi juga harus mempunyai berbagai kualitas tertentu yang kemudian dapat dijadikan model oleh kliennya.

Sehubungan dengan tuntuta yang ada pada onselor dalam hal kompetensi ini, untuk dapat memahami komplesitas dari kepribadian manusia, dan supaya dapat melakukan abstraksi-abstraksi dari berbagai teori keprbadian, seorang konselor harus considerably above average in general intelegence.

G. Dapat Dipercaya (Trustworthiness)
Trust sangat sulit untuk dibentuk dan dapat hilang dalam sekejap dengan satu tindakan saja. Cavanagh (1982) mengatakan bahwa salah satu sasaran penting dari konseling adalah mendorong klien untuk mengungkapkan dirinya yang terdalam. Untuk dapat melakukan ini, klien harus dapat merasakan bahwa konselor dapat menerima dan memahami apa yang diungkapkannya tanpa merasa terkejut atau tidak nyaman dan ketidaksetujuan. Karena itu, konselor yang dapat dipercaya menjaga komunikasi kliennya, berespons dengan energy dan dinamisme keprihatinan dan masalah klie, dam tidak pernah membuat kliennya menyesal karena telah mengungkapkan sesuatu kepada konselor.

H. Interpersonal Attractiveness
Klien melihat konselor tampak menarik secara interpersonal, kalau ia melihat konselor sebagai serupa (similar) dan kompatibel dengan dirinya. Menurut Hackney dan Cormier (2001), secara intuitif klien membuat assesmen ini.Yang penting dalam similaritas ini adalah pandangan-pandangan yang dianggap serupa. Konselor dan klien tidak usah sama dalam etnik, budaya atau agama, tetapi konseling akan menjadi lebih berhasil kalau klien merasakan bahwa konselor mempunyai pandangan-pandangan yang “serupa” dengan dirinya, kalau klien dan konselor berbagi berbagai karakteristik penting. Stewart dan Cash (2000) mengatakan supaya memperlua perceived similarities dan mengurangi perceived differences. Sikap unconditional positive regard yang dianjurkan oleh rogers (1957) dapat membantu, karena dengan sikap tidak menilai, menaruh respek pada klien, konselor tidak memaksakan nilai-nilai pribadinya. Kalau klien data merasakan hal ini, maka akan mengurangi perceived differences meskipun mungkin tidak serupa, tetapi klien tidak merasakan ancaman dari konselor, ia merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.

No comments for "Karakteristik Konselor yang Efektif part 2"