Memahami Distorsi Kognitif
1. Pikiran “segalanya atau tidak sama sekali” : individu melihat segala sesuatunya hanya berdasarkan kategorisasi baik dan buruk. Individu yang sempurna adalah individu yang berprestasi sedangkan individu yang kurang atau tidak sempurna adalah individu yang mengalami kegagalan.
Misalnya, seseorang mendapatkan nila A-, merasa gagal dalam mata kuliah tersebut karena tidak mendapatkan nilai A.2. Over generalisasi, yaitu individu yang ketika mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat mengganggu atau menganggap peristiwa negatif yang berlebihan.
Misalnya, seseorang merasa diperlakukan tidak adil dengan temannya yang berkulit putih maka orang tersebut akan menganggap bahwa semua orang yang berkulit putih itu tidak adil.
3. Filter mental, yaitu kondisi dimana individu merasakan hal kecil yang sifatnya negatif dalam situasi tertentu kemudian selalu terus dipikirkannya sehingga mempersepsikan bahwa semua situasi adalah hal yang negatif juga.
Misalnya, seseorang merasa merasakan kesialan di pagi hari dan menganggap bahwa semua hal yang dijalaninya dalam satu hari tersebut adalah sesuatu yang buruk.
4. Mendiskualifikasi yang positif, yaitu ketika individu menolak pengalaman positif dan menganggap bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang berarti, sedangkan pengalaman negatif dianggap sebagai sesuatu yang berarti.
Misalnya, seseorang mendapatkan gaji pertamanya dan orang tersebut baru saja putus cinta, maka pengalaman mendapatkan gajinya bukan merupakan hal yang berarti dan orang tersebut akan terus merasakan kesedihan atas putusnya jalinan kasih tersebut.
5. Loncatan ke kesimpulan, yaitu situasi dimana individu membuat penafsiran negatif meskipun tidak ada fakta yang mendukung secara jelas dari penafsiran yang telah dibuat.
Misalnya, seseorang mengatakan bahwa dirinya telah gagal menjadi sahabat yang baik untuk temannya padahal bagi temannya dia tidak ada masalah dengan dirinya.
6. Pembesaran dan pengecilan, yaitu situasi dimana individu melihat kesalahan atau ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang berlebihan, sedangkan ketika individu merasa melakukan hal yang benar atau baik dianggap sebagai sesuatu yang biasa.
7. Penalaran emosional, yaitu kondisi dimana individu menggunakan emosinya dan merealisasikannnya dalam perbuatan, misalnya “saya merasa tidak enak badan, maka pastilah saya sedang sakit.”
8. Pernyataan harus, yaitu situasi dimana individu mencoba memotivasi diri sendiri dan terbebani oleh kata-kata “saya harus mampu” atau “saya harus dapat”. Pernyataan tersebut justru menyebabkan individu merasa tertekan dan tidak termotivasi.
9.Personalisasi, yaitu situasi dimana individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peritiwa eksternal yang negatif.
10. Mind reading, yaitu individu merasa bahwa dirinya mengetahui apa yang orang lain taku tentang dirinya.
Misalnya: Seorang perempuan dapat menyimpulkan bahwa kekasihnya membatalkan janji untuk makan malam bersama karena pacarnya sudah tidak mencintainya lagi. Bahkan, perempuan tersebut merasa bahwa pacarnya hanya membuat alas an saja sehingga mereka tidak pergi bersama.
11. Prediksi negatif, yaitu individu percaya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya tanpa ada bukti yang jelas.
Misalnya, seseorang mengatakan bahwa dirinya akan mengalami kegagalan pada ujian semesternya padahal dirinya telah belajar dan mempersiapkannya dengan baik.
12. Sebagai bencana (Catastrophizing), yaitu individu membayangkan suatu aktifitas dan aktifitas tersebut membuat dirinya merasa khawatir dan merasakan ketakutan yang berlebihan.
Misalnya, seorang karyawan takut dan khawatir bertemu dengan atasannya karena meyakini bahwa apabila dirinya bertemu dengan atasannya maka dirinya akan menyampaikan sesuatu hal bodoh yang akan mengancam pekerjaanya.
13. Pelabelan dan mislabeling, yaitu individu memandang negatif dirinya yang diciptakan oleh dirinya sendiri berdasarkan kesalahan dan kecerobohan yang telah dilakukannya.
Misalnya, seorang anak yang telah mengalami beberapa insiden canggung ketika bertemu dengan orang lain menganggap bahwa “saya tidak memiliki kepercayaan diri bila bertemu dengan orang lain.”
14. Fortune telling, yaitu harapan terhadap bagaimana hal-hal akan berubah sebelum terjadi (pasrah dan berharap pada keberuntungan).
15. Heaven`s reward Fallacy, suatu situasi dimana individu merasa tidak senang apabila tidak mendapatkan imbalan hadiah atas apa yang telah dilakukannya.
16. Always being right, yaitu individu merasa bahwa segala pendapat dan tindakannya adalah hal yang benar.
17. Fallacy of change, yaitu individu merasa bahwa individu lain akan berubah sesuai dengan perubahan yang diinginkannya.
18. Control Fallacies, suatu situasi eksternal dimana individu merasa tidak berdaya dengan kondisinya dan situasi internal yang membuat individu merasa memikul rasa tanggung jawab yang sangat berat bahkan menanggung rasa sakit yang sangat dalam.
Misalnya: eksternal (saya tidak dapat membantu kamu jika kualitas pekerjaan saya buruh, bahkan bos saya menyuruh saya untuk lembur mengerjakan pekerjaan saya) Internal (kenapa kamu menderita?, apakah karena sesuatu yang pernah saya lakukan?”
19. Fallacy of fairness, suatu situasi dimana individu memiliki pikiran yang adil menurut persepsinya melainkan menurut lingkungan social itu adalah sebuah kekeliruan.
Misalnya, hidup ini akan adil jika saya merasa bahagia terus dan tidak pernah merasakan kesedihan.
20. Blaming, suatu situasi dimana individu merasa bahwa kesedihan dan kegagalan yang dialaminya karena perlakuan individu lain kepadanya.
Misalnya, “kamu berhenti membuat hidup saya berantakan”, padahal individu itu yang kurang berusaha dalam mencapai apa yang diinginkannya.
21. Self-worth, suatu situasi dimana individu membuat keputusan yang sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kemampuannya kepada individu lain dan hanya sekedar membuat dirinya merasa senang dan bahagia atas apa yang menjadi keputusannya.
22. Underestimating coping ability, suatu situasi dimana individu meremehkan kemampuannya sendiri dalam mengatasi sebuah permasalahan yang dihadapi.
23. Biased attention toward signs of social rejection, and lack of attention to signs of social acceptance, yaitu suatu situasi dimana individu mengalami kesulitan dalam mempersepsikan sinyal penolakan secara social dan kurangnya kesadaran akan sinyal penerimaan dari lingkungan social.
Misalnya, individu tidak mengerti sinyal penolakan apabila seseorang yang diajak berbicara sudah menguap saat dirinya bercerita. Kemudian individu juga tidak mengerti bahwa apabila seseorang bersandar di bahunya itu berarti orang tersebut nyaman dengan keberadaan dirinya.
24. Negatively biased recall of social encounters, yaitu situasi dimana individu hanya mengingat kesan negative dari sebuah peristiwa dan melupakan peristiwa negative yang terjadi.
Misalnya, individu akan mengingat bahwa dirinya terpeleset di tangga panggung saat ingin tampil memainkan piano dan melupakan tepuk tangan dari penonton setelah dirinya tampil.
25. Thinking an absence of effusiveness means something is wrong, yaitu individu akan berfikir bahwa apabila seseorang memberikan pujian yang berlebihan atas apa yang kamu kerjakan berarti itu hanya sekedar harapan orang tersebut, dengan kata lain pekerjaan kamu kurang memuaskan.
26. Unrelenting standars, yaitu individu berfikir bahwa untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan maka individu tersebut selalu membuat standart yang harus dipenuhinya jika mengerjakan suatu pekerjaan.
Misalnya, individu akan selalu bekerja dengan standar yang telah ditentukannya agar tidak membuat kesalahan, karena kesalahan yang dibuatnya kelak akan menyebabkan dirinya dimata rekan-rekannya adalah sosok yang tidak berguna.
27. Entitlement beliefs, yaitu kepercayaan yang dimiliki individu sebuah peraturan harus diikuti oleh semua orang, namun untuk dirinya peraturan tersebut tidak berlaku.
28. Justification and moral licensing, yaitu individu merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk kemajuan bersama sehingga apabila dirinya bertindak dengan cara yang keliru atau tidak konsisten maka hal itu wajar-wajar saja.
29. Belief in a just world, yaitu individu memiliki kepercayaan bahwa orang miskin harusnya memiliki kehidupan yang melarat, begitupun sebaliknya.
30. Seeing a situation only from your own perspective, yaitu individu hanya melihat sebuah situasi dari pertimbangannya sendiri dan tidak melihat dari perspektif orang lain.
31. Belief that self-criticism is an effective way to motivate yourself toward better future behavior, yaitu individu meyakini bahwa kritikan yang tajam untuk dirinya sendiri merupakan cara yang efektif untuk memotivasi dirinya agar memiliki perilaku yang lebih baik di masa akan datang.
32. Recognizing feelings cause of behavior, but not equally attending to how behavior influences thoughts and feelings, yaitu situasi dimana individu menyadari bahwa perasaan yang dimilikinya akan mempengaruhi perilaku yang tampak, namun tidak menyadari bahwa perilaku juga mempengaruhi perasaan dan pikirannya.
33. Using feelings as the basic of a judgment, when the objective evidence does not support your feelings, yaitu individu yang menggunakan perasaannya dalam menilai sesuatu padahal tidak didukung oleh bukti objektif yang ada.
Misalnya, individu obsessive compulsive disorder “saya merasa tangan saya tidak bersih, meskipun saya sudah mencuci tangan lima kali. Saya akan mencuci tangan lagi.”
34. Delusions, keyakinan yang dimiliki individu yang bertolak belakang dengan bukti nyata yang ada.
Misalnya, saya tidak bercaya dengan adanya pemanasan global.
35. Assuming your current feelings will stay the same in the future, yaitu individu beranggapan bahwa dirinya tidak merasa mampu mengatasi permasalah hidupnya saat ini, oleh karena itu dirinya pun merasa tidak mampu mengatasi masalah di masa akan datang.
36. Hallo effect, yaitu suatu situasi yang negatif akan dipersepsikan positif karena hal negatif tersebut berada di sekitar hal yang positif.
Misalnya, seorang preman akan dinilai orang baik apabila berada diantara ulama-ulama agama.
37. Cognitive conformity, yaitu individu akan melakukan sesuatu dengan melihat kebiasaan-kebiasaan orang-orang yang ada dilingkungan sekitarnya atau dengan kata lain ikut-ikutan dengan orang lain.
Misalnya, tetangga beli kulkas baru sang istripun merengek ke suami untuk dibelikan kulkas baru yang sama.
38. Falling victim to the “foot in the door” technique, yaitu individu kadang memiliki trik dalam meminta sebuah permohonan kepada seseorang dan teknik ini menggambarkan bahwa apabila seseorang ingin meminta sesuatu maka mulailah dengan permintaan yang sederhana dahulu kemudian ditingkatkan ke permintaan yang lebih besar.
39. Falling victim to the “door in the face” technique, yaitu individu kadang memiliki trik dalam meminta sebuah permohonan kepada seseorang dan teknik ini menggambarkan bahwa apabila seseorang ingin meminta sesuatu maka mulailah dengan permintaan yang besar kemudian diikuti dengan pertanyaan yang lebih sederhana lagi.
40. Focusing on the amount saved rather than the amount spent, yaitu individu kadang lebih berfokus pada jumlah yang disimpannya dibandingkan jumlah yang dihabiskannya.
Misalnya, sebuah toko menawarkan discount besar-besaran, biasanya ibu-ibu akan menyerbu toko tersebut karena mereka berfikir bahwa dengan adanya discount mereka bisa menyimpan uang dari hasil potongan harga barang yang dibeli dan tidak menyadari jumlah yang dikeluarkannya untuk membeli barang discount tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang simpannya.
41. Assumed similarity, yaitu individu kadang menganggap bahwa orang lain memiliki kesamaan sikap secara keseluruhan dengan dirinya.
42. In-group bias, yaitu individu di dalam sebuah kelompok cenderung memilih untuk berinteraksi dengan individu yang memiliki karakter yang sama dengan dirinya dan tidak menyadari bahwa setiap individu memiliki keunikannya masing-masing sehingga tidak sebuah individu sama.
43. You don’t know what you don’t know, individu kadang berfikir bahwa apa yang tidak diketahuinya adalah hal yang tidak peril diketahui. Padahal individu perlu menyadari apa yang tidak diketahuinya dan kelak berproses untuk mengetahui hal tersebut dan pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang ada.
44. The belief that worry and overthinking will lead to problem solving insights, yaitu individu percaya bahwa kekhawatiran dan pikiran yang berlebihan akan menghambat individu dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang dihadapinya.
45. Cheating on your goals based on positive behaviors you plan to do later, yaitu situasi dimana individu melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan perilakunegatif ditunda untuk direncanakan dilakukan di masa akan datang.
Misalnya, seorang perempuan yang sedang diet, namun tidak bisa menahan godaan makanan enak di sebuah acara pernikahan. Maka perempuan tersebut mengatakan bahwa “diet akan saya mulai pecan depan saja.”
46. Repeating the same behavior and expecting different result, yaitu individu selalu mengulangi perilaku tertentunya dengan harapan memperoleh hasil yang berbeda.
Misalnya, seorang siswa tidak pernah belajar ketika ingin ujian dan berharap nilainya akan lebih baik dari yang sebelumnya.
47. I can’t change my behavior, yaitu individu tegas mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mengubah kebiasaanya untuk menjadi lebih baik.
48. The tendency to prefer familiar things, yaitu individu akan cenderung memilih hal-hal yang familiar saja yang dianggap hal tersebut akan menguntungkan dirinya kelak.
49. The belief you can multi-task, yaitu individu kadang memaksakan dirinya untuk bisa mengerjakan hal yang banyak dengan kapasitas yang tidak memadai dengan tujuan melakukan sabotase terhadap kelemahan yang dimilikinya.
50. Overvaluing things because they’re yours, yaitu individu memiliki kecenderungan untuk menilai baik hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.
Misalnya, seorang ibu akan memunji bayinya sebagai bayi yang cerdas dari yang sebenarnya karena bayi tersebut merupakan bagian dari dirinya.
Sumber:
Beck, A. T. (1976). Cognitive therapies and emotional disorders. New York: New American Library.
Boyes, A. (2013). 50 common cognitive distortions (Online). http://www.psychologytoday.com. Diakses tanggal 24 Maret 2015.
Burns, D. (1988). Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi penanganan depresi. Jakarta: Erlangga.
No comments for "Memahami Distorsi Kognitif"
Post a Comment