Karakteristik Konselor yang Efektif

Karakteristik Konselor yang Efektif
PART 1
 

Seorang konselor yang efektif harus memenuhi beberapa prasyaratan supaya dapat berhasil dalam melaksanakan profesinya. Penelitian-penelitian dari beberapa ahli yang dikutip oleh Brammer, Abrego & Shostrom (1993 dalam Lesmana, 2008)  menunjuk pada sikap hangat, dapat memahami, positive regard, self-reavealing sebagai kondisi fasilitatif yang dapat membantu perubahan yang terjadi pada klien.  Salah satu hal yang penting, adanya keterbukaan dalam diri konselor tersebut. Keterbukaan pikiran, dapat menerima pendapat orang lain, menyadari bahwa ada bermacam-macam nilai di dunia ini, dan nilai-nilai yang dianutnya bukan satu-satunya yang betul. Tanpa hal ini ia akan menjadi seorang yang sangat diskriminatif dan tertutup, karena ia tidak dapat menerima adanya perbedaan dan adanya keanekaragaman.


Karakteristik Konselor yang Efektif Menurut Rogers

Carl Rogers (1971 dalam Lesmana, 2008), seorang pakar yang tidak boleh dilupakan bila berbicara tentang konseling, menyebutkan tiga karakteristik utama yang harus dipunyai oleh seorang konselor yang terlibat dalam hubungan membantu. Ketiga karakteristik yang dikemukakan oleh Rogers kemudian ditemukan dalam tulisan para ahli yang membahas tentang karakteristik seorang konselor. Ketiga ciri tersebut adalah congruence, unconditional positive regard dan emphaty.

A.Congruence (Genuineness, Authenticity)

Menurut Rogers (1971 dalam Lesmana, 2008), kondisi pertama untuk terjadinya perubahan pada klien adalah bila terapis/konselor is what he is, when in the relationship with his client he is genuine and without “front” or facade, openly being the feelings and attidtudes which at that moment are following in him. Rogers selanjutnya mengatakan bahwa ia menggunakan istilah congruence untuk mendeskripsikan kondisi ini. Ia mengartikan congruence sebagai berikut: the feelings the therapist is experiencing are available to him, available to his awareness, and he is able to live his feelings, be them, and bale to communicate them if appopriate. Dengan perkataan lain, perasaan yang dialami oleh terapis atau konselor itu ada di dalam jangkauannya, ada di dalam kesadarannya, dan ia dapat mengo- munikasikannya, bila keadaanya sesuai dan pantas untuk mengomunikasikannya. Perlu diperhatikan kata-kata “if appropriate”. Bila kata-kata ini tidak ada, dapat disalah artikan bahwa semua yang dirasakan konselor atau terapis harus dikomunikasikan untuk dapat dikatakan sebagai genuine atau tanpa tutup. Rogers (1971 dalam Lesmana 2008) selanjutnya menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat mencapai  kondisi ini dengan sepenuhnya. Tetapi semakin seorang terapis dapat mendengarkan dan menerima apa yang terjadi di dalam dirinya sendiri, dan makin ia mampu untuk memahami kompleksitas perasaanya, tanpa rasa takut, makin tinggi derajat kongruensinya. Kongruensi ini menurut Rogers merupakan suatu keharusan kalau ingin terjadi terapi. Terapis haruslah seorang yang terintegrasi dan kongruen. Konsep kongruensi adalah konsep yang kompleks, tetapi Rogers mengatakan bahwa secara naluriah orang bisa membedakan individu mana yang betul-betul sesungguhnya adalah dirinya, yang betul-betul mengatakan apa yang ingin dikatakannya (mean exactly that he says), dan perasaan yang ada di dalam lubuk hatinya yang terdalam adalah sama dengan yang dia ekspresikannya. Orang semacam ini menerima perasaan-perasaan yang ada di dalam dirinya dan orang lain paham “di mana dia berdiri:. Dia adalah dirinya sendiri dan perasaan serta reaksinya sesuai dan tepat sama dengan apa yang ada dalam kesadarannya tentang perasaan-perasaan dan reaksi-reaksi ini. Rogers (1971) mengatakan bahwa congruence is the term… used to indicate accurate matching of experiencing and awareness.

Melihat penjelasan Rogers di atas, maka genuineness adalah congruence. Untuk menjadi genuine, sesorang harus kongruen. Ia sungguh-sungguh menjadi dirinya, tanpa tutup terhadap dirinya sendiri. Dalam literatur, kadang-kadang ditemukan istilah authenticity, yang mempunyai arti sama dengan kongruen. Seorang yang autentik adalah seorang yang kongruen, karena ia adalah seorang yang memahami keadaan dirinya sendiri (Lesmana, 2008).

Ringkasnya, Rogers mengatakan bahwa kongruensi itu sangat penting sebagai dasar sikap yang harus dipunyai oleh seorang konselor Ia harus paham tentang dirinya sendiri, berarti pikiran, perasaan dan pengalaman marah, maka perasaan dan pikirannya harus marah, yang tercermin pula dalam tindakannya. Ia harus memahami bias-bias yang ada di dalam dirinya, prasangka-prasangka yang mewarnai pikirannya. Ia harus tahu kelemahan dan aset-aset yang dipunyainya. Kalau ia menyadari hal ini, ia dapat membuat perbedaan antara dirinya dan orang lain. Ia tahu bahwa orang lain bukan dirinya.

B. Unconditional Positive Regard (Acceptance)

Persyaratan kedua dari karakteristik seorang konselor menurut Rogers, yaitu unconditional positive regard. Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu ditunjukkan oleh seorang konselor kepada kliennya. Ia harus dapat menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya mempunyai nilai-nilai sendiri, kebutuhan-kebutuhan sendiri yang lain daripada yang dimiliki olehnya. Kliennya dalah orang lain, bukan kelanjutan dari diri konselor, sehingga jangan mengharap klien mempunyai nilai-nilai yang sama dengan yang sama dengan konselor. Rogers digolongkan sebagai seorang tokoh dari aliran humanistik yang mempunyai pandanganpositiv terhadap manusia. Menurut Rogers, manusia mempunyai tendensi untuk mengaktualisasikan diri dan untuk tumbuh ke arah yang positif. Konselor harus memberi kepercayaan kepada kliennya untuk memilih perkembangan diri mereka.

Bahwa akseptansi (penerimaan) merupakan salah satu karakteristik yang harus dipunyai konselor, ditemukan dalam tulisan berbagai ahli. Menurut Brammer, Brego dan Shostrom (1993), terjadi perubahan paling efektif pada klien kalau ia ada dalam situasi yang menunjukkan keadaan kondusif untuk pertumbuhan. Keadaan yang kondusif ini misalnya adalah pengalaman acceptance (penerimaan), yaitu pengalaman dipahami, dicintai dan dihargai tanpa syarat. Sikap penerimaan ini ekuivalen dengan bentuk dasar dari cinta altruistik. Penelitian Harlow (dalam Brammer, Abrego, dan Shostrom, 1993) pada primata, menunjukkan bahwa primata yang tumbuh dan diasuh dengan kondisi deprivasi matermal mengembangkan tingkah laku maladaptif, yang bila dilihat ekuivalennya pada tingkah laku manusiabisa disebut sebagai neurotik dan sisiopatik.

Melalui konseling, orang harus mempelajari cara bersikap dan bertingkah laku yang baru, belajar bersikap dan bertingkah laku positif hanya bisa terjadi dalam situasi kondusif. Karena itulah situasi konseling harus menyediakan keadaan seperti ini. Konselor ada dalam posisi menciptakan hubungan kasih sayang yang punya efek konstruktif pada sistem sekuritas klien dan kemampuannya untuk memberi dan menerima cinta. Observasi menunjukkan bahwa orang yang menerima cukup kasih-sayang, terutama pada masa perkembangannya yang dini, belajar menjadi bahagia dengan dirinya sendiri dan untuk mencitai orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal ini kemudian akan memungkinkannya untuk menunjukkan keprihatinan altruistik pada orang-orang lain.

Acceptance dalam konseling ini sama dengan bentuk cinta AGAPE (dalam bahasa Yunani)-Yaitu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orangg lain untuk berkembang, ketika seseorang berusaha secara maksimal untuk kesejahteraan dari objek cinta tersebut. Beberapa konselor mempunyai keberatan mengenai penggunaan istilah cinta dan kasih sayang, dalam konteks konseling. Istilah caring lebih disukai. Artinya serupa dengan cinta dan juga menyangkut komponen unconditional positive regard untuk kesejahteraan klien. Istilah unconditional positive regard juga merupakan pilihan konselor untuk menunjukkan keprihatinan yang mendalam untuk kesejahteraan klien.

Acceptance merupakan suatu motivasi spontan yang berasal dari struktur sikap dasar dari konselor. Acceptance juga mempunyai sifat altruistic, dalam arti konselor memang mengusahakan kesejahteraan psikologis klien dan tidak mengeksploitasinya. Acceptance juga bersifat tidak menilai, dalam arti konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dipegang klien.

Asumsi Dasar yang Melandasi Acceptance adalah:

1.    Individu mempunyai infinite wort and dignity. Individu mempunyai harkat dan martabat yang tidak terbatas.

2.    Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.

3.    Orang mempunyai kemampuan atau potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermaksna secara social.

4.    Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.

Dari keempat asumsi yang melandasi Acceptance, yang diuraikan oleh Brammer, Abrego, dan Shostrom (1993) seperti tersebut di atas, jelas bahwa seorang konselor harus percaya kliennya mempunyai kemampuan mengaktualisasikan dirinya, dan bertanggung jawab sendiri untuk hidupnya. Konselor adalah fasilitator perubahan, konselor menunjukkan respek kepada orang yang dibantunya, yang diyakininya sebagai cukup mempunyai kemampuan untuk menentukan arahnya sendiri.

C. Empati

Karakteristik ketiga adalah mampu berempati. Empati adalah konsep yang sepertinya mudah dipahami tetapi sulit untuk dicerna. Sulit menerjemahkan empati dengan kata-kata yang tepat. Untuk memahami apa yang dimaksud Rogers dengan empati, simaklah kutipan berikut yang diambil dari bukunya yang berjudul A Way of Being (Rogers, 1980):

An emphatic way of being with another person has several facets. It means entering the private perceptual world of the other and becoming thoroughli at home in it. It involves being sensitive, moment by moment, to the changing felt meanings which flow in this other person, to the fear or rage or tenderness or confusion or whatever that he or she is experiencing. It means temporarily living in the others`s life, moving abaut in it delicately without making judgments: it means sensing meanings of which he or she is scarcely aware, but not trying to uncover totally unconscious feelings, since this would be too threatening. It includes communicating yaour sensings of the person`s worlsd as you look with fresh and unfrightened eyes at elements of which he or she is fearful. It means frequently checking with the person as to be the accuracy of your sensings, and being guided by the responses you receive. You are a confident companion to the person in his or her inner world. By pointing to the possible meanings in the flow of another person`s experiencing. You help the other to focus on this useful type of referent, to experience the meanings more fully, and to move forward in the experiencing.

To be with another in this way means that for the time being, you lay aside your own views and values in order to enter another`s world without prejudice. In some sense it means that you lay aside your self; this can only be done by persons who are secure enough in themselves that they know they will not get lost in what way turn out to be the strange or bizarre world of the other and that they can comfortably return to their own world when they wish.

Rogers mengakhiri tulisannya dengan mengatakan:

Perhabs this description makes clear that being emphatic is a complex, demanding, and strong-yet also a subtle  and gentle way of being.

Kutipan di atas dengan jelas menggambarkan apa yang dimaksud dengan empati. Meskipun sederhana tampaknya, tetapi banyak konsep yang terkait di dalam empati. Memahami orang lain dari sudut kerangka berfikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan orang yang melakukan empati harus orang yang “kuat”, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak pula boleh terlarut dalam nilai-nilai orang lain.

No comments for "Karakteristik Konselor yang Efektif"