Intervensi Psikologi: Pemanfaatan Bystander (Saksi) untuk Mencegah Bullying di Sekolah

Intervensi Psikologi:
Pemanfaatan Bystander (Saksi) Secara Efektif dalam Peristiwa Bullying sebagai Salah Satu Langkah


Bullying bukan kondisi baru di sekolah, meski akhir-akhir ini menjadi marak dan bahkan menjadi sebuah fenomena keseharian di sekolah. Meski bukanlah hal baru, namun keberadaan bullying tetaplah sebagai salah satu persoalan atau kondisi yang perlu diatasi. Para pimpinan perlu melakukan sebuah tindakan dalam rangka memberikan pemahaman mengenai bullying kepada guru, karyawan sekolah, anak, dan orangtua. Memberikan pemahaman kepada guru yang berkaitan dengan bullying dapat dikaji dengan melakukan analisa kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Selanjutnya yang menjadi hal mendasar yang perlu diketahui guru adalah salah satu cara mencegah adanya bullying dengan tidak menjadi pelaku bullying itu sendiri kepada anak didik kemudian menegakkan lingkungan sekolah yang mengandung nilai-nilai respek, toleransi, tanggung jawab, kerjasama, saling percaya, dan empati (SEJIWA, 2008).

Peranan wali kelas dalam mengatasi bullying amat dominan, mengingat biasanya anak-anak lebih terbuka kepada wali kelas. Seorang wali kelas sebaiknya memiliki kemampuan untuk memberikan konseling kepada para siswa yang membutuhkan bantuan, termasuk mengatasi yang terlibat dalam bullying. Bila terdapat kasus yang tidak bisa ditangani oleh wali kelas, maka barulah kasus tersebut disampaikan kepada guru Bimbingan dan Konseling (BK) untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang lebih mendalam. Guru BK dalam menjalankan fungisnya perlu bekerjasama dengan bidang kesiswaan dan wali kelas untuk mencari jalan keluar kasus-kasus yang dihadapi siswa. Jika terjadi bullying wali kelas sebaiknya langsung mengkomunikasikan ke orangtua untuk mendiskusikan bersama kasus tersebut dan bukannya saling menyalahkan. Pendampingan perlu dilakukan baik kepada pelaku, korban maupun saksi. Terhadap pelaku sebaiknya menunjukkan kasih sayang, empati, selain bersikap tegas. Pelaku akan lebih tersentuh untuk berubah bila guru menunjukkan kekuatan keluhuran untuk mempengaruhi mereka. Umumnya pelaku bullying melakukan tindakan kasar karena adanya suasana selaras dan menekan yang di alami di lingkungan yang lain, misalnya di rumah (SEJIWA, 2008).

Adapun usaha penanggulangan bullying yang tertuang dalam strategi pencegahan bullying yang dirumuskan oleh Rudi (2010) ada tiga yaitu pertama, siswa dibantu untuk menumbuhkan self-esteem (harga diri) yang baik sehingga anak dapat bersikap positif, menghargai dirinya sendiri dan orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan haknya. Kedua, mengarahkan siswa untuk mampu bergabung dengan kelompok teman sebaya yang berperilaku positif. Terakhir, guru bisa mengarahkan para siswa bertindak sebagai bystander (saksi) bullying untuk menjadi agen pencari bantuan ketika bullying tersebut berlangsung di kalangan siswa.

Berkaitan dengan strategi pencegahan bullying dengan memberdayakan keberadaan bystander (saksi) bullying, Public School NST (2005) menjelaskan bahwa bystander (siswa lain yang melihat atau berada di lokasi saat bullying terjadi) adalah orang yang mungkin sebagai penyemangat pelaku bullying, orang yang berada di sekitar tempat kejadian dan hanya menonton, atau orang pergi menjauh dari kejadian tersebut. Kondisi tersebut sebenarnya tidak menolong korban atau tidak membuat peritiwa tersebut berhenti sehingga keberadaan bystander dianggap penting untuk dijadikan salah satu cara untuk mencegah perilaku bullying berulang di lingkungan sekolah. Tulisan ini juga memaparkan bahwa sampai sekarang bullying  masih menjadi masalah yang sulit dan semakin memperburuk keadaan jika tidak diperhatikan. Peristiwa bullying terjadi di tengah-tengah bystander (85%), namun keberadaan orang dewasa jarang. Sebagian besar seorang anak merasa tidak nyaman menyaksikan peristiwa bullying, namun hanya sedikit anak yang tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghentikan peristiwa tersebut dan berupaya agar perilaku tersebut tidak berulang. Perlu diketahui juga bahwa frekuensi peristiwa bullying akan semakin meningkat jika tidak ada yang melihat dan melaporkan perilaku tersebut. Oleh karena itu apabila bystender dijadikan salah satu intervensi untuk mencegah terjadinya bullying maka bullying akan dapat segera dihentikan.
Perlu diketahui bahwa mengkondisikan siswa sebagai bystander yang efektif sering kali sulit dilakukan oleh seorang anak atau siswa. Para siswa mungkin mengalami kesulitan untuk membantu menghentikan bullying karena siswa mungkin mengalami ketakutan untuk dijadikan target bullying, mereka mungkin tidak tahu cara untuk menghentikannya, mereka merasa bahwa mereka akan membuat keadaan semakin buruk bagi korban, atau mungkin mereka takut sebagai dobber (informan) oleh siswa lain. Kadang-kadang siswa mungkin merasa bahwa korban pantas dipelakukan demikian. Namun, bullying mempengaruhi semua orang, dan sikap bungkam hanya akan membuat masalah ini semakin buruk.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengarahkan fungsi bystander  yang efektif adalah:
1. Berbicaralah dengan siswa tentang bullying. Tanyakan kepada siswa tentang apa yang terjadi di sekolah, khususnya perilaku yang mengarah ke bullying dan terus jalin komunikasi dengan siswa. Hal tersebut akan membuat siswa lebih terbuka dengan apa yang mereka dan teman mereka alami di sekolah.
2. Mengarahkan siswa untuk meminta bantuan ke orang lain jika melihat bullying terjadi. Sadarkan para siswa mengenai keberadaan jumlah bystander yang jauh lebih banyak dari pelaku bullying. Hal tersebut untuk meredam kekhawatiran dan ketakutan siswa sebagai bystander untuk meminta bantuan ke orang lain agar perilaku bullying dapat dihentikan segera dan tidak terjadi kembali.
3. Berikan pertimbangan keselamatan diri sendiri dan oranglain kepada siswa yang sebagai bystander jika ingin menolong secara langsung korban bullying, dan berikan arahan alternatif terbaik untuk menolong adalah melaporkan peristiwa bullying pada orang dewasa.
4. Beri tahu siswa bahwa memberi tahu orang lain mengenai peristiwa kekerasan yang terjadi tidak apa-apa. Buatlah siswa agar mereka merasa aman untuk menceritakan apa yang terjadi di sekolah dan apa yang mereka rasakan mengenai kejadian kekerasa tersebut. Guru diharapkan mendengarkan tanpa terburu-buru merespon kejadian yang diceritakan siswa dan terburu-buru menawarkan solusi.
5. Bantulah siswa untuk memahami apa yang dirasakan oleh siswa korban bullying. Dorong siswa untuk menenangkan dan membantu siswa yang baru saja menjadi korban bullying.
6. Berikan sebuah ketegasan kepada siswa untuk tidak ikut melakukan bullying jika melihat peristiwa bullying terjadi.
7. Memberikan informasi kepada siswa mengenai bagaimana cara untuk melaporkan bullying. Siswa-siswa perlu tahu bahwa mereka dapat meminta bantuan dari beberapa guru-guru yang dapat dipercaya di sekolah. Kemudian guru bisa bertanya kepada siswa guru-guru siapa saja yang mereka anggap dapat dipercaya dan mudah untuk mengaksesnya ketika peritiwa bullying terjadi.
8. Tunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kepada siswa di sekolah. Apabila anak-anak diperlakukan dengan baik oleh guru atau siswa lainnya, maka anak juga akan terbiasa untuk memperlakukan dengan baik guru dan temannya.


Sumber:
MODUL PELATIHAN
“ANTI BULLYING”

RSQ (2015)

No comments for "Intervensi Psikologi: Pemanfaatan Bystander (Saksi) untuk Mencegah Bullying di Sekolah"