Teori Psikologi Perkembangan: Kematangan Emosi Remaja

Teori Psikologi Perkembangan: Kematangan Emosi Remaja


Pola Emosi pada Masa Remaja 
1. Remaja apabila ia marah, dia tidak menyalurkan emosi negatif nya melalui gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dia hanya diam, menggerutu;
2. Remaja mudah iri kepada orang yang memiliki benda yang lebih banyak;
3. Tidak mengeluh dan menyesali diri sendiri seperti yang dilakukan anak-anak; dan
4. Remaja suka kerja untuk memperoleh uang atau bila perlu berhanti sekolah untuk mendapatkan uang (Hurlock, 1980).

Kematangan Emosi
Remaja apabila dikatakan kematangan emosi bila remaja tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya untuk dapat diterima. Kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Jadi kematangan remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, dan tidak berubah-ubah dari suasana hati ke suasana hati lain (Hurlock, 1980).
Perkembangan sosio-emosional remaja atau beberapa ahli menyebutnya perkembangan psikososial remaja akan membahas mengenai perkembangan identitas remaja. Namun, sebelum lebih jauh membahas tentang identitas, sebaiknya terlebih dahulu kita melihat aspek-aspek lain pada masa remaja, yakni keluarga, teman sebaya, dan kebudayaan. 
KELUARGA
Otonomi dan Attachment
Santrock (2002) mengemukakan bahwa tuntutan remaja akan otonomi dan tanggung jawab membingungkan dan membuat marah banyak orang tua. Orang tua melihat remaja mereka melepaskan diri dari genggaman mereka. Mereka mungkin berusaha melakukan pengendalian yang lebih kuat ketika remaja menuntut otonomi dan tanggung jawab. keadaan emosional yang memanas dapat terjadi di kedua belah pihak, dimana salah satu pihak mencaci maki, mengancam, dan melakukan apa saja yang dirasa perlu untuk memperoleh kendali. Orang tua mungkin nampak frustasi karena mereka berharap remaja mereka akan menuruti nasihat mereka, mau meluangkan waktu bersama keluarga, dan tumbuh untuk melakukan apa yang benar ((Collins & Luebker, 1993 (Santrock, 2002)). Kebanyakan orang tua mengantisipasi kesulitan remaja dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan masa remaja, tetapi hanya sedikit orang tua yang dapat membayangkan dan meramalkan bagaimana kuatnya hasrat seorang remaja untuk meluangkan waktu bersama teman-teman sebaya atau seberapa banyak remaja ingin memperlihatkan bahwa merekalah-bukan orang tua mereka- yang bertanggungjawab atas keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan mereka.
Kemampuan remaja untuk meraih otonomi dan memeroleh kendali atas perilakunya dicapai melalui reaksi-reaksi orang dewasa yang tepat terhadap keinginan remaja untuk memperoleh kendali. Pada permulaan masa remaja, umumnya individu tidak memiliki pengetahuan untuk mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan dewasa dalam semua bidang kehidupan. Ketika remaja menuntut otonomi, orang dewasa yang bijaksana melepaskan kendali di bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan remaja terbatas. Secara berangsur-angsur remaja akan memeroleh kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan matang secara mandiri. Tetapi, remaja tidak hanya sekedar menghindari pengaruh orang tua ke dalam proses pengambilan keputusan yang kesemuanya mereka lakukan sendiri. ada keterkaitan yang terus-menerus dengan orang tua ketika remaja bergerak menuju dan memeroleh otonomi.
Para ahli perkembangan pada dasawarsa terakhir ini meyakini bahwa attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja, sebagaimana yang tercermin dalam ciri-ciri seperti harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik (Allen, dkk,1994). Misalnya, remaja yang memiliki relasi yang nyaman dengan orang tua memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik (Armsden & Greenberg, 1987). Sebaliknya, deattachment emosional dari orang tua terkait dengan perasaan-perasaan akan penlakan orang tua yang lebih besar dan perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantic yang dimilki diri sendiri (Ryan & Linch, 1989). Dengan demikian attachment dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan situasi dunia sosial yang luas dalam suatu cara yang secara psikologis sehat. Attachment yang kokoh pada orang tua dapat menyangga remaja dari kecemasandan potensi perasaan-perasaan depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Dalam suatu penelitian, bila remaja muda memiliki suatu attachment yang kokoh dengan orang tua mereka, mereka memahami keluarga mereka sebagai keluarga yang kohesif dan mengeluhkan sedikit kecemasan sosial atau perasaan-perasaan depresi ((Papini, Roggman, & Anderson, 1990) dalam Santrock, 2002).
Konflik Orang Tua dan Remaja
Masa awal remaja ialah satu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak ((Steinberg, 1993 (dalam Santrock, 2002)). Peningkatan ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, yakni perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang dilanggar ole orang tua dan remaja. Remaja membandingkan orang tuanya dengan standar ideal dan kemudian mengecam kekurangan-kekurangannya. Sedangkan, banyak pula orang tua melihat remaj mereka berubah dari seorang anak yang selalu menurut menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menentang stanar-standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan kepada remaja agar menaati standar-standar orang tua ((Collins, 1990 (dalam Santrock, 2002)). Orang tua sering mengharapkan remaja mereka menjadi orang dewasa yang matang dalam semalam daripada memahami bahwa perjalanan itu berjalan dalam waktu 10 hingga 15 tahun. Orang tua yang menyadari bahwa transisi ini memerlukan waktu, menangani anak remaja mereka secara lebih kompeten dan tenang daripada orang tua yang menuntut ketaatan segera terhadap standar-stanadar orang dewasa.
Konflik dengan orang tua memang meningkat pada masa awal remaja, tetapi konflik itu tidak mencapai derajat yang menggemparkan (Kupersmidt, dkk, 1992), konflik yang terjadi justru  menyangkut hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari seperti merapikan kamar tidur, berpakaian rapi, kembali ke rumah pada waktu yang telah ditentukan, tiak berlama-lama bicara di telepon, dan seterusnya.
Konflik sehari-hari yang mencirikan relasi remaja-orang tua sebenarnya dapat berperan sebagai fungsi perkembangan positif (Blos, 1989; Hill, 1983). Perselisihan dan perundingan kecil ini mempermudah transisi remaja dari tergantun pada orang tua menjadi seorang individu yang memiliki otonomi. Misalnya, dalam suatu studi ditemukan bahwa remaja yang mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan orang tua akan menjajaki perkembangan identitas lebih aktif daripada remaja yang tidak mengungkapkan ketidaksetujuannya kepada orang tua mereka (( Cooper, dkk, 1982 (dalam Santrock, 2002)).
Santrock (2002) mengungkapkan bahwa salah satu cara bagi orang tua untuk mengatasi tuntutan remaja dan kemandirian adalah dengan menyadari bahwa masa remaja adalah suatu masa transisi 10 hingga 15 tahun dalam perjalanan ke masa dewasa dan tidak terjadi hanya dalam semalam. Kesadaran bahwa konflik dan perundingan dapat berperan sebagai fungsi perkembangan yang positif dapat pula menurunkan kemarahan orang tua.

TEMAN SEBAYA
Tekanan Teman Sebaya dan Tuntutan Komformitas
Komformitas dengan tekanan teman-teman sebaya pada masa remaja dapat bersifat positif dan negatif (Camanera, 1991). Pada umumnya, remaja terlibat dalam bentuk perilaku komformitas negatif, seperti menggunakan bahasa yang jorok, mencuri, merusak, dan mengolok-olok orang tua dan guru. Namun, ada pula bentuk perilaku komformitas positif dan terdiri atas keinginan untuk dilibatkan dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti teman-teman dak keinginan untuk meluangkan waktu dengan anggota-anggota suatu klik (Santrock, 2002).
Secara lebih rinci, Kelly dan Hansen (dalam Desmita, 2006) menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:
1. Impulsif- agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresi langsung.
2. Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Teman-teman dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari teman-teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada dorongan keluarga mereka.
3. Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengeks- presikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan mereka memecahkan masalah.
4. Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya. Remaja belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap yang mereka asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
5. Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dalam kelompok teman sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki oleh teman sebayanya, serta memutuskan mana yang benar. Proses mengevaluasi ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
6. Meningkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya.

KEBUDAYAAN
Perbandingan Lintas Budaya dan Ritual Peralihan
Studi-studi lintas budaya (cross-cultural-study) adalah perbandingan-perbandingan suatu kebudayaan dengan satu atau lebih kebudayaan lain, yang memberikan informasi tentang sejauh mana perkembangannya sama, atau universal secara lintas budaya, atau sejauh mana perkembangannya bersifat khas. Studi tentang masa remaja muncul dalam konteks masyarakan industri Barat, dimana kebutuhan-kebutuhan praktis dan norma-norma sosial kebudayaan ini mendominasi pemikiran tantang remaja. Akibatnya, perkembangan remaja dalam kebudayaan barat berlaku sebagai norma bagi semua remaja di dunia, tanpa memandang keadaan-keadaan ekonomi dan kebudayaan. Sudut pandang yang sempit ini dapat menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang keliru tentang hakikat remaja.
Salah satu variasi pengalaman remaja dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda ialah tentang ritual peralihan yang dilalui oleh remaja atau tidak. Beberapa masyarakat memperluas upacara-upacara yang menandai peraliha remaja ke periode kematangan dan pencapaian status dewasa. Ritual peralihan (rite of passage) adalah suatu upacara atau ritual yang menandai suatu transisi individu dari suatu status ke status yang lain. Hal yang paling menarik dari ritual peralihan adalah fokusnya pada transisi ke status dewasa. Pada beberpa kebudayaan primitif, ritual peralihan adalah jalan dimana remaja memeroleh akses ke dalam praktek-praktek orang dewasa, ke dalam pengetahuan, dan  ke dalam seksualitas ((MacDonald, 1991; Sommer, 1978) (Santrock, 2002)).
Menurut Santrock (2002), ketiadaan ritual peralihan yang jelas menyebabkan pencapaian status dewasa membingungkan. Banyak individu tidak yakin apakah mereka telah atau belum mencapai status dewasa. Misalnya, di Texas, usia untuk mulai bekerja adalah 15 tahun, tetapi banyak remaja yang lebih muda bahkan anak-anak dipekerjakan, khusunya para imigran Meksiko.

No comments for "Teori Psikologi Perkembangan: Kematangan Emosi Remaja"