Siswa Berkebutuhan Khusus : Tunawicara

Siswa Berkebutuhan Khusus
“Tunawicara”




DEFINISI TUNAWICARA
Komunikasi merupakan sarana penting bagi individu untuk melakukan proses pengiriman dan penerimaan pesan antar individu satu dengan individu yang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal maupun non-verbal. Komunikasi secara non-verbal dapat terlihat pada anak kecil ketika berinteraksi dengan orang lain, yaitu dengan menggunakan isyarat atau gerakan tubuh. Namun, komunikasi tersebut dapat menjadi bermasalah ketika anak tumbuh besar tidak dapat mengungkapkan sesuatu secara verbal. Permasalahan tersebut sering dikatikan dengan kelainan bicara dan bahasa.
Menurut Mangunsong (2009) kelainan bicara dan bahasa adalah hambatan dalam komunikasi secara verbal yang efektif, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi pemahaman individu terhadap bahasa yang disampaikan atau ucapkan berkurang. Oleh karena itu, hambatan dalam bicara dan bahasa dapat mempengaruhi bagaimana individu dalam memahami informasi yang disampaikan maupun diterima oleh individu tersebut.

Kelainan bicara dan bahasa dapat mengakibatkan individu mengalami kesulitan untuk melakukan interaksi dengan orang lain. Adanya kesulitan tersebut dapat mengakibatkan individu dikatakan mengalami ganguan dalam komunikasi. American Speech-Language-Hearing Association (Hallahan & Kauffman, 2006) berpendapat bahwa gangguan komunikasi merupakan kerusakan yang terjadi pada kemampuan untuk menerima, mengirim, memproses, dan memahami konsep baik secara verbal, non-verbal, dan simbol.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010) anak tunarungu/ tunawicara/ wicara adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara. Definisi tersebut menunjukkan bahwa anak dengan hambatan dalam pendengaran atau berbicara akan mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, anak-anak yang mengalami hambatan dalam pendengaran atau yang sering dikenal dengan tunarungu sering disebut dengan anak tunawicara.
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa tunawicara merupakan ketidakmampuan individu dalam melakukan komunikasi secara verbal, sehingga mengalami kesulitan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain secara verbal. Hal tersebut dikarenakan orang lain cenderung mengalami kesulitan untuk memahami pesan yang disampaikan oleh anak atau individu yang mengalami tunawicara tersebut.

Karakteristik Kelainan Bicara dan Bahasa
Menurut Sheridan (Mangunsong, 2009; Telford & Sawrey, 1981) terdapat beberapa karakteristik khusus pada anak-anak yang mengalami gangguan bicara, yaitu:
1. Terjadi pada anak yang lahir prematur
2. Kemungkinannya empat kali lipat pada anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan
3. Belum bisa berbicara dalam bentuk kalimat pada usia dua tahun
4. Memiliki gangguan penglihatan
5. Sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk (clumsy) oleh gurunya
6. Apabila dilihat dari segi perilaku kurang bisa untuk menyesuaikan diri
7. Mengalami kesulitan untuk membaca
8. Banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan
Selain itu, menurut (Delphie, 2006) terdapat beberapa karakteristik anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi, yaitu:
1. Kurang memperhatikan saat guru sedang memberikan pelajaran di kelas
2. Selalu memiringkan kepala, sebagai upaya untuk berganti posisi telinga terhadap sumber bunyi, cenderung untuk meminta pengulangan kepada guru
3. Mengalami kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan
4. Adanya sikap yang enggan untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena adanya hambatan pendengaran
5. Adanya ketergantungan terhadap petunjuk saat di kelas
6. Mengalami perkembangan bahasa dan bicara
7. Perkembangan intelektual peserta didik terganggu
8. Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, terutama ketika membaca

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelainan Bicara dan Bahasa
Menurut Mangunsong (2009) secara spesifik terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan kelainan bicara dan bahasa, yaitu:
1. Faktor sentral
a. Faktor yang berhubungan dengan susunan syaraf pusat
b. Adanya ketidakmampuan berbahasa yang spesifik
c. Mengalami keterbelakangan mental
d. Autisme
e. Mengalami defisit dalam hal perhatian dan hiperaktivitas
f.   Mengalami luka otak (brain injury)
g. Mengalami gangguan fungsi kognitif
2. Faktor periferal
a. Faktor yang berhubungan dengan gangguan sensoris atau fisik
b. Mengalami gangguan pendengaran
c. Mengalami gangguan penglihatan
d. Mengalami gangguan fisik
e. Mengalami gangguan motorik yang berhubungan dengan bicara
3. Faktor lingkungan dan emosional
Faktor lingkungan dan emosional merupakan faktor yang berasal dari lingkungan sosial maupun psikologik. Berikut ini faktor yang dapat mempengaruhi anak mengalami kelainan dalam bicara dan bahasa, yaitu:
a. Penelantaran dan penganiayaan
b. Maslaah perkembangan perilaku dan emosi
c. Tidak adekuat dalam mempelajari bahasa di rumah

4. Faktor campuran
Faktor campuran merupakan faktor-faktor yang berasal dari beberapa faktor lain yang mengakibatkan anak mengalami kelainan dalam bicara dan bahasa.


Klasifikasi Tunawicara
American Speech-Language Hearing (Mangunsong, 2009; Hallahan & Kauffman, 2006) mengemukakan bahwa kelainan bicara terdiri dari beberapa golongan. Berikut ini penggolongan kelainan bicara, yaitu:
1. Kelainan Komunikasi
a. Kelainan Bicara
1) Kelainan suara
2) Kelainan artikulasi
3) Gangguan kelancaran bicara
b. Kelainan Bahasa
1) Bentuk bahasa (fonologi, morfologi, sintaks)
2) Isi bahasa (semantik)
3) Fungsi bahasa dalam komunikasi (pragmatik)
2. Variasi dalam Komunikasi
a. Perbedaan komunikasi atau dialek
b. Komunikasi tambahan (augmentative system)

Berdasarkan klasifikasi yang telah disebutkan di atas, maka akan dijelaskan pembahasan mengenai tiap-tiap klasifikasi tersebut. Berikut ini penjelasan tiap-tiap klasifikasi:
1. Kelainan Suara
Menurut Mangunsong (2009) salah satu aspek dari ekspresi verbal adalah kualitas suara pembicara. Pada individu yang berbicara normal memiliki variasi dalam nada, alunan dan volume suara yang sesuai. Namun, pada beberapa individu atau anak mengalami pola kontrol dan variasi suara yang terganggu, sehingga mengakibatkan kualitas suara terlalu keras atau lembut, terlalu rendah atau terlalu tinggi nadanya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan apabila anak-anak dengan pengucapan, keras atau lemahnya suara, kualitas suara, kelancaran bicara, dan rentang ekspresi yang dimunculkan berbeda dengan anak seusianya. Menurut Wollfolk (Mangunsong, 2009) hal tersebut dapat terjadi bukan dikarenakan anak merasa malu, namun karena adanya kesulitan bagi anak dengan bahasa.
Mangunsong (2009) mengemukakan bahwa kelainan suara pada individu dapat muncul dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah disebabkan oleh suatu penyakit seperti laryngitis. Laryngitis merupakan kelainan suara yang disebabkan suara menjadi serak dan adanya tumor pada pita suara. Penyebab lainnya seperti konflik emosional, kebiasaan yang salah dalam menggunakan suara secara berlebihan, adanya kondisi fisik yang lemah, dan hilangnya pendengaran. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelainan dalam pitch atau tinggi rendahnya nada pada individu. Disisi lain, kelainan suara juga dapat disebabkan karena individu mengalami masalah psikologik yang dapat menyebabkan hilangnya suara yang disebut aphonia (Hallahan & Kauffman, 2006). Selain itu, kelainan suara dapat disebabkan oleh abnormalitas fisik seperti adanya celah dilangit-langit atau kerusakan otak, individu yang mengalami tonsilitis, dan sinusitis yang parah.
2. Kelainan Artikulasi
Menurut Cartwright, Cartwright, dan Ward (Woolfolk, 1998; Mangunsong, 2009) mengatakan bahwa kelainan artikulasi meliputi kesalahan-kesalahan dimana anak mendistorsikan bunyi kata (shup untuk sup), mensubstitusikan bunyi suatu kata dengan lainnya (cenang untuk senang), menambahkan bunyi yang tidak relevan terhadap suatu kata (ider untuk ide), atau menghilangkan suatu bunyi pada sebuah kata (sa-it untuk sakit). Selain itu, masalah artikulasi lainnya seperti sering terjadinya lalling yaitu bunyi huruf “r” dan “l” didistorsikan.
Sedangkan menurut Wollfolk (Mangunsong, 2009) masalah-masalah dalam artikulasi merupakan karakteristik umum yang muncul dalam perkembangan bicara. Semua anak dapat memproduksinya pada saat belajar bicara. Salah satu contoh, seperti sebagian besar anak yang berbahasa Inggris baru berhasil membunyikan semua bunyi bahasa inggris pada usia 6 sampai 8 tahun.
Masalah artikulasi tersebut dapat mengganggu pada diri anak hingga dewasa apabila terjadi secara terus menerus tanpa adanya penanganan. Selain itu, masalah artikulasi akan menyebabkan frustrasi pada pembicara maupun pendengar. Hal tersebut dikarenakan tidak terjadinya penyampaian dan penerimaan informasi secara tepat, sehingga akan mengalami kesulitan untuk memahami informasi tersebut terutama secara verbal.
Mangunsong (2009) mengatakan bahwa kelainan artikulasi dikarenakan adanya kesalahan dalam memproduksi bunyi yang diawali dengan adanya koordinasi otot-otot mulut dan wajah yang tidak adekuat dan menjadi kebiasaan pada individu tersebut. Penyebab kelainan artikulasi lainnya dapat dilihat bagaimana lingkungan anak tersebut dibesarkan. Hal tersebut dikarenakan anak akan belajar bicara dengan cara imitasi dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Selain itu, kelainan artikulasi dikarenakan adanya faktor biologis yaitu terjadinya luka otak atau kerusakan pada syaraf yang mengendalikan otot bicara seperti pada anak yang mengalami cerebral palsy. Disisi lain, kelainan artikulasi juga disebabkan karena anak mengalami keterbelakangan mental, abnormalitas, gigi yang patah, dan rusaknya pendengaran pada anak.
3. Kelainan Kelancaran Bicara
Menurut Mangunsong (2009) gangguan kelancaran bicara sering disebut dengan ketidakteraturan dalam “timing” bicara yang disebabkan adanya ketidakmampuan dalam mengontrol pernapasan saat bicara. Gangguan tersebut dapat teridentifikasi pada usia anak lima tahun. Gangguan kelancaran bicara akan menjadi semakin parah apabila orang tua dan guru tidak memberi perhatian secara khusus kepada anak yang belum lancar untuk berbicara.
Beberapa contoh gangguan kelancaran bicara seperti stuttering (gagap) yang ditandai dengan gangguan kelancaran (fluency), alunan (flow) atau ritme suara. Gangguan ritme dan kelancaran berbicara bisa berbentuk tersendat-sendat, adanya pengulangan-pengulangan, tampak tegang, bunyi/ suara panjang, atau suku kata/kata-kata yang panjang terpatah-patah.
Gangguan ritme dan kelancaran bicara bisa muncul pada saat anak belajar bicara ( usia 2 – 6 tahun), dan biasanya keadaan tersebut diketahui oleh orang tua sebelum anak masuk sekolah. Menurut Woolfolk (Mangunsong, 2009) anak yang gagap memiliki karakteristik terlihat sensitif, tegang, menarik diri, menunjukkan kecemasan, dan rasa malu terutama ketika berada di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, Onslow (Woolfolk, 1998; Mangunsong, 2009) menganjurkan kepada orang tua untuk membawa anaknya ke terapis bicara apabila anak mengalami gagap lebih dari setahun. Selain itu, terdapat cluttering yaitu anak berbicara sangat cepat, irama tidak beraturan, kadang-kadang ucapan tidak jelas, terputar kebalik, dan sulit untuk dipahami.
Gangguan kelancaran bicara menurut Mangunsong (2009) dapat disebabkan oleh adanya gangguan emosi, kerusakan pada otak dan syaraf, serta terjadi pada proses saat anak belajar bicara. Menurut Mangunsong (2009) anak dengan gangguan kelancaran bicara apabila tidak segera ditangani maka dapat berdampak pada interaksi sosial anak tersebut. Beberapa dampak yang akan terlihat seperti anak akan mengalami ketidakmampuan dalam berkomunikasi, anak akan mengembangkan perasaan diri yang negatif, dan anak akan mengalami masalah dalam mengambil kesempatan kerja.
4. Kelainan Bahasa
Kelainan bahasa dikenal dengan expressive aphasia atau severe language delay, merupakan kelainan disebabkan oleh disfungsi susunan syaraf pusat yang menghalangi pemahaman atau penggunaan kata-kata (Mangunsong, 2009). Aphasia itu sendiri merupakan adanya ketidakmampuan dalam menggunakan kata-kata. Aphasia itu sendiri dibagi menjadi dua jenis yaitu aphasia reseptif dan aphasia ekspresif.
a. Aphasia reseptif terjadi apabila kemampuan tersebut menghalangi pemahaman bahasa lisan
b. Aphasia ekspresif terjadi apabila tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk mengekspresikan suatu ide atau berkomunikasi secara verbal.
Gangguan bahasa tersebut merupakan penyimpangan dalam perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa lisan, tertulis, dan atau sistem simbol yang lain. Gangguan ini melibatkan gangguan bentuk bahasa (fonologi, morfologi, sintaks), isi bahasa (semantik), dan fungsi bahasa dalam komunikasi (pragmatik).

Sedangkan pada klasifikasi variasi komunikasi sebenarnya tidak dapat dimasukkan sebagai kategori ketunawicaraan murni. Hal tersebut dikarenakan seperti perbedaan dialek merupakan variasi sistem simbol yang digunakan oleh sekelompok individu yang mencerminkan asal daerahnya, lingkungan sosial atau budaya. Sedangkan untuk komunikasi tambahan merupakan suatu sistem yang digunakan untuk melengkapi keterampilan komunikasi. Salah satunya seperti alat-alat prostesis ataupun nonprostesis yang dirancang untuk individu yang membutuhkan alat bantu komunikasi.
Menurut Mangunsong (2009) kelainan bahasa dibedakan menjadi dua yaitu kelainan bahasa primer dan kelainan bahasa sekunder. Kelainan bahasa primer secara umum belum dapat diketahui secara pasti penyebabnya. Sedangkan, untuk kelainan bahasa sekunder Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelainan bahasa tersebut. Faktor-faktor tersebut yaitu anak yang mengalami retardasi mental, gangguan emosional yang berat, kerusakan pendengaran, gangguan spektrum autistik, anak yang mengalami cerebral palsy, kecelakaan otak yang traumatis, dan terbiasanya anak dalam menggunakan komunikasi paralinguistik. Komunikasi paraliguistik merupakan komunikasi yang terjadi ketika anak belum bisa untuk berbahasa lisan namun anak sudah mampu untuk berkomunikasi melalui gerakan dan suara-suara.

Identifikasi
Proses identifikasi pada anak yang mengalami kesulitan berbicara dan bahasa dapat dilakukan oleh keluarga, orang tua, dan guru. Ketiga pihak yang telah disebutkan memiliki peranan yang sangat besar dalam hal identifikasi masalah kesulitan berbicara dan bahasa pada anak. Menurut Mangunsong (2009) terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh keluarga, orang tua, dan guru untuk mengetahui apakah anak mengalami kesulitan berbicara dan bahasa. Salah satu cara tersebut adalah dengan membandingkan penguasaan bahasa yang dimiliki anak dengan anak normal lainnya. Anak yang mengalami kesulitan berbicara dan bahasa cenderung mengalami keterlambatan dalam penguasaan bahasa apabila dibandingkan dengan anak seusianya.
Disisi lain, Hallahan dan Kauffman (Mangunsong, 2009) mengemukakan bahwa terdapat beberapa cara terstruktur yang dilakukan dalam melakukan identifikasi. Beberapa cara tersebut seperti menggunakan tes-tes yang terstandar dan tes-tes yang tidak terstandar, menggunakan skala perkembangan yang baku dan observable. Selain itu, identifikasi dapat dilakukan dengan melakukan asesmen pada anak yang mengalami kesulitan berbicara dan bahasa. Proses asesmen tersebut dapat dilakukan apabila telah mendapatkan persetujuan dari orang tua siswa. Setelah mendapatkan persetujuan dari orang tua, maka asesmen dapat dilakukan oleh ahli patologi bicara dengan menggunakan pengukuran standar dan berbicara secara langsung dengan siswa yang mengalami kesulitan berbicara dan bahasa dengan tujuan untuk melakukan evaluasi mengenai kelancaran bicara dan kualitas suara siswa tersebut.
Mangunsong (2009) juga menyampaikan bahwa asesmen tidak hanya dilakukan oleh guru regular dan ahli patologi bicara saja melainkan juga melibatkan seperti perawat sekolah, spesialis lain yang mendeteksi gangguan pendengaran, dan guru pendidikan khusus. Selama proses asesmen, siswa yang bersangkutan akan dilakukan evaluasi yang berada pada area pendengaran, intelektual, prestasi akademis, dan kemampuan bahasa. Pada asesmen bahasa berfokus pada penerimaan (reception) dan ekspresi.

Hambatan Individu yang Mengalami Kelainan Bicara dan Bahasa
Menurut Mangunsong (2009) terdapat beberapa hambatan yang terjadi pada anak atau individu yang mengalami kelainan bicara dan bahasa. Berikut ini beberapa hambatan tersebut, yaitu:
a. Kemampuan konseptual dan prestasi akademik
Keterlambatan pada perkembangan bahasa dan aphasia ekspresif dapat mempengaruhi bagaimana perkembangan pendidikan dan kognitif dari individu yang mengalami kelainan tersebut. Perkembangan pendidikan dan kognitif pada diri individu berasal dari bagaimana kemampuan individu dalam memahami dan menggunakan bahasa yang dimiliki. Selain itu, adanya keterlambatan dalam perkembangan bahasa dapat mempengaruhi komunikasi yang dilakukan baik secara verbal maupun non-verbal.
b. Faktor personal dan sosial
Kelainan artikulasi yang dialami oleh individu menyebabkan adanya konsekuensi negatif dalam melakukan hubungan interpersonal dan perkembangan konsep diri pada individu tersebut. Dampak lainnya yang dialami oleh individu yaitu merasa rendah diri, merasa terisolasi, tidak berani berbicara di depan umum, dan menimbulkan adanya kecemasan tersendiri ketika berinteraksi dengan orang lain khususnya pada anak atau individu yang mengalami tunawicara.
Selain itu, (Delphie, 2006) juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya berbicara. Berikut ini secara garis besar hambatan yang dialami oleh anak, yaitu:
a. Anak-anak dengan hendaya berbicara mempunyai komunikasi yang kurang baik (defective in communication) seperti berbicara secara gagap, pelat atau terbata-bata, ucapan yang membingungkan, dan bicara yang sulit dipahami. Oleh karena itu, ketika berinteraksi dengan anak-anak yang mengalami hendaya berbicara dapat dilakukan dengan mengenal tanda-tanda non-verbal seperti kontak mata, ekspresi, orentasi tubuh, dan komunikasi yang dilakukan secara dekat.
b. Anak-anak dengan hendaya berbicara pada umumnya mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa, khususnya dalam struktur kalimat yang kompleks. Oleh karena itu, di sekolah perlu menerapkan adanya latihan-latihan berbahasa dengan menggunakan metalinguistik yaitu mengomentari ucapan-ucapan yang salah pada anak secara langsung.
c. Terdapatnya kelemahan pada otot-otot alat bicara atau motorspeech disorder. Motorspeech disorder adalah terjadinya kelumpuhan pada alat bicara yang diakibatkan dysarthia atau artikulasi bicara yang kurang baik. Artikulasi bicara yang kurang baik disebabkan adanya kerusakan pada sistem saraf pusat.
d. Saat berbicara anak akan mengalami lompatan, banyak berhenti, dan sering mengulang kata. Hal tersebut dikarenakan adanya dyspraxia atau apaxia atau ketidakmampuan untuk berbicara karena faktor hendaya gerakan otot-otot organ bicara yang berkaitan dengan proses interneurosensory.
e. Terjadinya penurunan kemampuan persepsi bicara, sehingga ketika berbicara kata-kata yang diucapkan sangat sedikit. Salah satu penyebabnya adalah adanya faktor kesulitan phonological. Kemampuan persepsi bicara melibatkan dua keterampilan yaitu kemampuan untuk mengucapkan bunyi yang berbeda dan kemampuan untuk mengucapkan bunyi akuistik yang berbeda.

Model Pendidikan untuk Tunawicara
Model pendidikan yang dapat diberikan kepada anak atau siswa yang mengalami tunawicara adalah memberikan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif menurut Staub dan Peck (Mangunsong, 2009) merupakan pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan khusus dengan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh dalam kelas reguler. Ashman dan Elkins (Mangunsong, 2009) membahas mengenai program inklusif bagi anak dengan gangguan komunikasi atau tunawicara. Mereka berpendapat bahwa anak dengan gangguan komunikasi membutuhkan adanya keterlibatan dari para ahli patologi bicara. Adanya keterlibatan tersebut dapat membantu anak dengan gangguan komunikasi dalam mengikuti proses belajar di kelas inklusif.
Pendidikan inklusif yang diberikan bukan berarti hanya memperbolehkan siswa berkebutuhan khusus untuk mengikuti sekolah, melainkan menuntut adanya perubahan sistem dan evaluasi pada orang-orang yang terlibat dengan kondisi anak (Mangunsong, 2009). Selain itu, pendidikan inklusif juga menuntut adanya penyesuaian dari kurikulum sekolah, peran serta guru, sarana dan prasarana, dana, manajemen kelas, lingkungan, serta kegiatan belajar mengajar di kelas. Oleh karena itu, adanya perubahan dan penyesuaian yang terjadi dapat membantu anak dalam mengikuti pelajaran dan berinteraksi dengan orang lain tanpa adanya perasaan takut ataupun cemas.

Intervensi
Kelainan-kelainan dalam gangguan komunikasi memiliki sifat dan penyebab yang berbeda-beda. Mangunsong (2009) mengemukakan bahwa terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pendampingan kepada anak atau individu yang mengalami tunawicara. Berikut ini beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Secara medis
Penanganan terhadap anak yang mengalami kelainan bicara tidak hanya dilakukan oleh speech pathologist melainkan dapat dilakukan oleh seorang ahli THT. Penanganan medis juga penting untuk dilakukan pada anak yang mengalami kelainan bicara, terutama pada kelainan bicara yang disebabkan oleh kerusakan pada saluran pernafasan, otot wajah, dan mulut. Kelainan bicara yang disebabkan oleh faktor medis salah satu contoh dapat dilakukan dengan cara operasi sedini mungkin, sehingga memungkinkan anak untuk belajar bahasa secara cepat dan tepat.
2. Secara psikologis
Intervensi yang dilakukan secara psikologis dapat dilakukan salah satunya pada anak yang mengalami permasalahan dalam penyesuaian diri. Intervensi yang dilakukan secara psikologis lebih banyak digunakan untuk membantu anak-anak yang mengalami gagap dan kelainan bahasa. Namun, intervensi tersebut terlihat kurang efektf apabila dilakukan kepada anak yang mengalami kelainan bahasa dibandingkan pada anak yang gagap.
3. Dalam pendidikan
Berdasarkan dari segi pendidikan, intervensi yang dapat dilakukan pada anak yang mengalami kesulitan bicara dan bahasa yaitu dengan mengajarkan bunyi-bunyi yang spesifik dan melakukan pengulangan membentuk kata serta dihubungkan dengan objek tertentu. Proses intervensi tersebut memerlukan adanya peran dari keluarga, terutama dalam menyediakan kegiatan bermain yang memberikan kesempatan bagi anak untuk menggunakan kemampuan verbalisasi. Orang tua memiliki peran yang penting bagi perkembangan bicara dan bahasa anak, terutama dalam mengajarkan anak untuk mengenal dan menguasai bahasa. Disisi lain, guru juga memiliki peran yang penting ketika anak memasuki usia prasekolah salah satunya mengajarkan keterampilan berbicara.
Selain itu, berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa intervensi pada anak tunawicara dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Putri, Iswari, dan Zulmiyetri (2013) mengenai meningkatkan kemampuan pengucapan konsonan (s) melalui metode motokinestetik bagi anak tunawicara kelas I di SDN 35 Padang Sarai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan jumlah pengucapan konsonan (s) di awal, tengah, maupun di akhir kata pada anak. Oleh karena itu, dapat dikatakan terdapat peningkatan jumlah pengucapan konsonan yang ditunjukkan oleh anak setelah diberikannya intervensi dengan menggunakan metode motokinestetik. Metode motokinestetik merupakan metode yang dilakukan untuk melatih anak dengan tunawicara agar mampu menempatkan organ atau otot dengan benar.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Sunanik (2013) mengenai pelaksanaan terapi wicara dan terapi integrasi pada anak terlambat bicara. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi wicara dan sensori integrasi hendaknya diberikan kepada anak sedini mungkin. Terapi tersebut juga mempunyai peranan penting dan menentukan perkembangan bahasa dan motorik anak. Oleh karena itu, terapi wicara dan sensori integrasi dapat membantu anak yang mengalami keterlambatan dalam berbicara.
Penelitian selanjutnya mengenai aplikasi pembelajaran bahasa isyarat untuk tuna wicara dengan standar american sign language yang dilakukan oleh Sutanto (2014), menunjukkan bahwa aplikasi pembelajaran yang dibuat dapat membantu tuna wicara untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, aplikasi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan gambar bergerak sehingga memudahkan penderita tuna wicara mudah untuk melakukan komunikasi meskipun dengan menggunakan bahasa isyarat. Oleh karena itu, aplikasi pembelajaran bagi penderita tuna wicara dengan bahasa isyarat dapat membantu proses komunikasi yang dilakukan.
Penelitian lainnya mengenai tunawicara dilakukan oleh Padmanabhan dan Sornalatha (2014) yang berjudul mengenai hand gesture recognition and voice conversion system for dumb people. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa isyarat atau sign language dapat membantu individu dengan tunawicara dalam berkomunikasi dengan orang lain yang normal. Proyek yang dilakukan dalam penelitian ini juga bertujuan untuk mengurangi batas atau gap antara orang tunawicara dengan orang normal lainnya dalam melakukan komunikasi, sehingga informasi yang disampaikan dapat saling dipahami.
Selain itu, penelitian lain yang membahas tentang penggunaan bahasa isyarat atau sign language adalah Gaikwad dan Bairagi (2014). Penelitian tersebut berjudul hand gesture recognition for dumb people using indian sign language. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk memperkenalkan bahwa salah satu alat yang dapat digunakan dalam berkomunikasi bagi individu yang mengalami tunawicara yaitu dengan gerakan isyarat tangan dalam bahasa india. Menurut peneliti gerakan isyarat tangan tersebut dapat membantu individu dengan tunawicara untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan lebih baik. Sign language merupakan salah satu jenis gerakan isyarat yang biasanya digunakan oleh individu yang mengalami tunawicara dalam berkomunikasi seperti orang normal lainnya.



Daftar Pustaka

Delphie, B. 2006. Pembelajaran anak berkebutuhan khusus (dalam setting pendidikan inklusi). Bandung: PT. Refika Aditama.Library of Congress Cataloging in Publication Data.

Gaikwad, P.B. & Bairagi, V.K. 2014. Hand gesture recognition for dumb people using indian sign language. International journal of advanced research in computer science and software engineering, 4 (12), 193-196.

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. 2006. Exceptional learners: introduction to special education. United State-America:

Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus, jilid kesatu. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Padmanabhan, V. & Sornalatha, M. 2014. Hand gesture recognition and voice conversion system for dumb people. International journal of scientific &engineering research, 5 (5), 427-431.

Putri, M.Y., Iswari, M., & Zulmiyetri. 2013. Meningkatkan kemampuan pengucapan konsonan (s) melalui metode motokinestetik bagi anak tunawicara kelas I di SDN 35 Padang Sarai. E-JUPEKhu, jurnal ilmiah pendidikan khusus, 2 (3), 419-432.

Sunanik. 2013. Pelaksanaan terapi wicara dan terapi sensori integrasi pada anak terlambat bicara. Jurnal pendidikan islam, 7 (1), 19-44.

Sutanto, H.N. 2014. Aplikasi pembelajaran bahasa isyarat untuk tuna wicara dengan standar american sign language. Jurnal ilmiah mahasiswa universitas Surabaya, 3 (1), 1-7.

No comments for "Siswa Berkebutuhan Khusus : Tunawicara"