Siswa Berkebutuhan Khusus: GIFTED

A. Definisi Anak Gifted

Pembahasan ini akan dimulai dengan menyatukan pemahaman pembaca mengenai beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan gifted yaitu istilah genius, bright, creative, dan talented (Somantri, 2005). Perlu diketahui bahwa sebagian besar para ahli mendefinisikan istilah gifted dengan kemampuan intelektual individu yang diatas rata-rata dan disertai dengan kreatifitas yang tinggi sedangkan untuk genius lebih ditekankan penggunaannya pada individu yang memiliki kapasitas intelektual yang jauh melampuai kemampuan intelektual individu pada umumnya dengan skor IQ di atas 160. Selanjutnya istilah bright sering dikaitkan dengan kecerdasan yang dimiliki individu namun tidak disertai dengan kreativitas, sedangkan istilah creative lebih ditekankan pada kemampuan individu berfikir out the box namun belum tentu memiliki kemampuan intelektual superior. Pada penggunaan istilah talented mengacu pada keterampilan khusus yang dimiliki individu dalam bidang musik, ekonomi, dan sebagainya.

Istilah gifted yang sekarang telah menjadi istilah umum pertama klien diperkenalkan oleh Guy Whipple dalam Monroe’s Encyplopedia of Education untuk menunjukkan keadaan anak-anak yang memiliki kemampuan super normal (Passow dalam Sarwindah 2006). Menurut Hagen, istilah gifted  ditujukan untuk individu yang memiliki kemampuan  akademis yang tinggi. Suharmini (2007) juga memaparkan bahwa istilah gifted ditujukan pada individu yang memiliki skor inteligensi yang tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah gifted lebih ditujukan pada individu-individu yang memiliki kapasitas inteligensi dan kemampuan akademis yang tinggi.

Anak gifted sendiri tidak terlepas dari definisi istilah gifted yang umum di paparkan. Definisi anak gifted atau anak berbakat mengacu pada beberapa referensi. Menurut United State Office of Education yang disingkat USOE dalam Mangunsong (2009) menjelaskan bahwa anak berbakat adalah mereka yang diidentifikasikan oleh orang-orang profesional memiliki kemampuan-kemampuan yang menonjol dan mampu menampilkan prestasi yang tinggi. Mereka membutuhkan program pendidikan yang terdifferensiasi dan/atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan kontribusinya terhadap diri sendiri dan masyarakat. Kemampuan-kemampuan yang menonjol tersebut dapat berupa potensi maupun yang telah nyata, seperti kemampuan intelektual umum, kemampuan akademik khusus, kemampuan berfikir kreatif-produktif, kemampuan memimpin, kemampuan dalam salah satu bidang seni, dan kemampuan psikomotik (Munandar, 2009). Depdiknas juga merumuskan definisi lain yang hampir sama, anak berbakat adalah anak-anak yang memiliki taraf inteligensi atau IQ diatas 140 dan oleh psikolog dan/atau guru diidentifikasikan sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi yang memuaskan, dan memiliki kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas, dan keterikatan terhadap tugas yang tergolong baik serta kreativitas yang memadai (Hawadi, 2004).

Definisi lain juga ditawarkan oleh Renzulli dalam Mangunsong (2009) yang memaparkan bahwa keberbakatan pada individu merupakan interaksi antara tiga cluster dasar dari manusia. Cluster pertama adalah kemampuan umum/spesifik yang dimiliki individu berada pada level di atas rata-rata. Cluster kedua tentang task commitment yang tinggi dan cluster tiga mengenai kreativitas tinggi yang dimiliki oleh individu. Secara khusus Munandar (2009) menjelaskan bahwa kemampuan umum/spesifik di atas rata-rata pada anak berbakat mengacu pada skor IQ dan pencapaian nilai-nilai akademik yang tinggi. Task commitment berbicara tentang pengikatan diri individu pada tugas sebagai bentuk dorongan individu untuk tekun dan ulet mengerjakan tugasnya, meskipun menghadapi bermacam-macam rintangan dan hambatan, dan menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sehingga memperoleh hasil tugas yang memuaskan. Kreatifitas yang tinggi sendiri digambarkan sebagai kemampuan umum yang dimiliki individu untuk menciptakan sesuatu yang baru sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkannya dalam memecahkan sebuah permasalahan. Kreatifitas juga erat kaitannya dengan kemampuan individu melihat hubungan-hubungan baru pada sebuah stimulus yang diperoleh dari lingkungan.

Berikut gambaran interaksi ketiga cluster tersebut:


Selain itu, Robert Sternberg dan Robert Wagner (Wahab, 2005) memaparkan bahwa keberbakatan adalah suatu jenis mental self-management. Manajemen mental kehidupan seseorang dalam suatu cara yang konstruktif dan bertujuan memiliki tiga elemen dasar yaitu kemampun beradaptasi dengan lingkungan, kemampuan menyeleksi lingkungan, dan kemampuan melakukan pembentukan dan perubahan dalam lingkungannya. Sternberg dan Wagner menegaskan bahwa dasar psikologis yang sangat penting dari keberbakatan adalah kecakapan intuitif mencakup tiga proses utama, yaitu (1) memisahkan informasi yang relevan dan tak relevan, (2) mengkombinasikan informasi yang terpisah ke dalam keseluruhan yang utuh, dan (3) mengaitkan informasi yang diperoleh pada saat ini dengan informasi yang diperoleh pada masa lalu. Howard Gardner (Wahab, 2005) juga menambahkan dengan pemaparan mengenai suatu konsep multiple intelligences, yaitu: kecerdasan linguistik, logikal/matematik, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Belakangan ini dilengkapi dengan kecerdasan naturalistik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gifted adalah individu yang memiliki kapasitas kognitif yang sangat berkembang pesat dan didukung oleh kemampuan berfikir yang kreatif, serta memiliki rasa tanggung jawab dan kepemimpinan yang tinggi kepada diri sendiri dan lingkungannya.

B. Ciri-ciri Anak gifted
Sesuai dengan definisi keberbakatan yang multikriteria, maka ciri-ciri anak berbakat pun yang digunakan di Indonesia meliputi beberapa dimensi. Dimensi tersebut adalah dimensi belajar, dimensi kreatifitas, dimensi motivasi dan dimensi kepemimpinan. Keempat dimensi ciri-ciri anak berbakat tersebut disusun oleh kelompok kerja pendidikan anak berbakat (KKPAB) yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985 (Sarwindah, 2006). Berikut pemaparan ciri-ciri keempat dimensi tersebut:
Dimensi belajar;
- Mudah menangkap pelajaran,
- Mudah mengingat kembali pelajaran yang diberikan dan memiliki perbendaharaan kata yang luas,
- Memiliki penalaran tajam (berfikir logis, kritis memahami hubungan sebab akibat),
- Daya konsentrasi baik (perhatian tidak mudah teralihkan),
- Memiliki pengetahuan yang luas, gemar membaca,
- Mampu mengungkapkan pikiran, perasaan atau pendapat secara lisan/tertulis dengan lancar dan jelas,
- Mampu melakukan pengamatan dengan cermat,
- Rasa ingin tahu individu yang besar terhadap hal-hal yang bersifat intelektual seperti suka melakukan percobaan sederhana dan mempelajari kamus, dan
- Memiliki kemampuan mengidentifikasi sebuah permasalahan, merumuskan hipotesa, lalu menguji hipotesa tersebut, dan sampai pada penarikan kesimpulan yang sahih (Sarwindah, 2006).
Dimensi tanggung jawab terhadap tugas;
- Tekun menghadapi tugas,
- Ulet (tidak lekas putus asa bila menghadapi kesulitan),
- Mampu berprestasi sendiri tanpa dorongan orang lain,
- Selalu ingin mendalami bahan/bidang pengetahuan yang diberikan di dalam kelas.
- Selalu berusaha untuk berprestasi sebaik mungkin,
- Menunjukkan minat yang besar terhadap bermacam-macam permasalahan dewasa,
- Senang dan rajin belajar dengan penuh semangat.
- Memiliki perasaan cepat bosan dengan tugas-tugas rutin,
- Mampu mempertahankan  pendapatnya, dan
- Menunda kebutuhan pemuasan kebutuhan sesaat untuk mencapai tujuan dikemudian hari merupakan ciri-ciri dimensi tanggung jawab individu terhadap tugas yang diberikan kepadanya (Sarwindah, 2006).
Dimensi kreatifitas;
- Memiliki rasa ingin tahu mendalam,
- Sering mengajukan pertanyaan yang berbobot (tidak asal bertanya),
- Memberikan banyak gagasan terhadap sebuah permasalahan,
- Mampu menyatakan pendapat dengan spontan dan tidak malu-malu,
- Memiliki rasa keadilan,
- Menonjol dalam satu atau lebih bidang studi,
- Mencari pemecahan masalah dari berbagai segi, dan
- Mempunyai rasa humor, imajinasi, dan pemikiran yang original (Sarwindah, 2006).
Dimensi kepemimpinan
- Sering dipilih menjadi pemimpin atau ketua,
- Disenangi oleh teman sekolah,
Dapat bekerjasama secara positif,
Dapat mempengaruhi teman-teman atau orang lain,
Mempunyai inisiatif dalam melaksanakan tugas,
Mempunyai rasa tanggung jawab yang besar,
Memiliki kepercayaan diri yang kuat,
Mudah menyesuaikan diri terhadap situasi baru,
Aktif berperan serta dalam kegiatan sosial,
Senang membantu orang lain,
Menyukai situasi yang menantang dan berani mengambil resiko kegagalan (Sarwindah, 2006).

Adapun hasil-hasil penelitian, pengamatan, maupun pengalaman yang telah dilakukan oleh Utami munandar, Kitano, Kirby, dan Clark dalam Somantri (2005) menunjukkan bahwa anak berbakat memang memiliki ciri-ciri dan kebutuhan yang berbeda dari anak lain pada umumnya. Perbedaan ciri-ciri tersebut dapat terlihat pada perkembangan fisik, kognitif, emosi, dan sosial anak berbakat. Berikut pemaparan dari keempat perkembangan yang terjadi pada anak berbakat pada umumnya:
1. Perkembangan fisik,
Anak gifted memiliki kecenderungan mengalami perkembangan fisik yang lebih kuat, lebuh besar, dan lebih sehat dari anak-anak pada umumnya. Bahkan, pada anak gifted terjadi reaksi-reaksi fisik yang cepat karena secara intelektual anak mampu menyerap informasi dan stimulus dari luar dengan cepat. Sehingga terlihat pada kemampuan koordinasi dan perkembangan psikomotorik anak yang lebih cepat dari yang umumnya terjadi pada anak (Kartadinata dkk dalam Somantri, 2005).
Masalah yang mungkin terjadi pada diri anak berbakat yang berkaitan dengan perkembangan fisiknya adalah Cartesian split yaitu adanya ketidakpaduan antara mind an body yang menganggap bahwa pikiran dan badan itu adalah dua substansi yang berbeda dan satu sama lain tidak ada hubungan causalitas. Padahal ketika individu memiliki kapasitas intelektual yang cukup tinggi maka anak berbakat akan cenderung memiliki sensasi fisik yang cepat seperti cepat menerima masukan atau stimulus dari lingkungan dan memiliki kesadaran sensoris yang sangat tinggi (Kartadinata dkk dalam Somantri, 2005).
Perlu disadari bahwa kenyataannya sekarang di sekolah-sekolah pada umumnya telah membatasi aktivitas-aktivitas fisik yang dilakukan oleh siswanya berdasarkan umur kronologis siswa tersebut. Adanya pembatasan aktivitas tersebut secara tidak langsung telah menggiring anak berbakat pada kondisi yang tidak mendukung keberbakatan yang dimilikinya atau dengan kata lain kondisi yang membatasi perkembangan yang pesat pada diri anak berbakat. Kondisi tersebutlah yang akhirnya menghantarkan anak yang berbakat pada situasi yang kurang nyaman.
2. Perkembangan kognitif,
Para ahli yaitu Hewit, Kitano, Treffinger, Hoyle, dan Wilks (Somantri, 2005) memaparkan bahwa anak berbakat itu secara intelektual menunjukkan beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
a. kemampuan berfikir analitis , integratif, dan evaluatif dengan baik,
b. Memiliki kematangan berfikir,
c. Berorientasi pada pemecahan masalah,
d. Memiliki kemampuan verbal yang tinggi,
e. Serba ingin sempurna (perfectionis),
f. Memiliki cara lain dalam memahami dan mengelolah informasi,
g. Memiliki fleksibilitas berfikir,
h. Kemampuan melahirkan gagasan dan pemecahan masalah secara orisinal,
i. Berorientasi evaluatif yang baik terhadap dirinya dan orang lain,
j. Berperilaku dengan terarah dan bertujuan,
k. Memiliki motivasi dan kompetensi yang tinggi untuk berprestasi,
l. Proses belajar yang cepat dan mudah dibadingkan individu seusianya,
m. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) dengan selalu mengajukan beberapa pertanyaan mengenai suatu hal yang diminatinya,
n. Senang berteman dengan orang yang lebih tua atau orang dewasa,
o. Memiliki rasa humor seperti orang dewasa,
p. Memiliki komitmen tugas yang tinggi ditandai dengan memiliki ketekunan dalam mengerjakan sebuah tugas (persistence),
q. Menyukai aktivitas yang bervariasi atau tidak monoton,
r. Memiliki kapasitas memori yang sangat baik,
s. Memiliki imajinasi yang tinggi,
t. Memiliki minat baca dalam berbagai pengetahuan,
u. Menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam matematika, terutama dalam pemecahan masalah,
v. Lebih menyukai bekerja secara mandiri atau sendiri, dan
w. Peka terhadap lingkungan di sekitarnya.
3. Perkembangan emosi,
Ketika membahas mengenai perkembangan emosi pada anak berbakat maka akan menyentuh 2 hal yang saling berlawanan yaitu perkembangan emosi yang stabil dan perkembangan emosi yang kurang stabil. Perkembangan emosi yang stabil pada anak berbakat ditunjukkan dengan kekukuhan dan pendirian yang tinggi dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sedangkan perkembangan emosi yang kurang stabil ditandai dengan sikap selalu ingin menang sendiri, cengeng, mudah tersinggung, dan kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan maupun orang-orang di sekitarnya. Selain itu beberapa anak berbakat juga memiliki kesadaran diri yang rendah sehingga sering memiliki harapan yang tinggi terhadap dirinya dan berakibat pada perasaan frustrasi yang dirasakan karena tidak mampu merealisasikan apa yang menjadi harapannya (Somantri, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hoogeveen, Hell, dan Verhoeven (2011)  juga memaparkan bahwa perkembangan konsep diri yang dimiliki siswa yang berada di kelas akselerasi atau anak berbakat lebih positif dibandingkan siswa yang berada di kelas regular. Konsep diri ini meliputi pengamatan dan penilaian individu terhadap kondisi fisik dan kemampuannya secara akademik di sekolah
4. Perkembangan sosial,
Beberapa ahli telah merumuskan beberapa karakteristik perkembangan sosial anak berbakat. Temuan-temuan yang telah dirumuskan tidak selalu dapat digeneralisasikan pada setiap anak berbakat, namun secara umum kecenderungan menunjukkan bahwa perkembangan sosial anak berakat memang lebih baik daripada anak normal pada umumnya. Clark (Somantri, 2005) memaparkan hasil perumusannya dari beberapa ahli tentang perkembangan sosial dan emosional anak berbakat, yaitu:
a) Anak berbakat, jika dibandingkan dengan teman sebayanya merasa lebih senang dan puas dengan keadaan dirinya sendiri dan hubungan antar pribadinya. Anak berbakat mempersepsikan dirinya memiliki kebebasan pribadi yang besar daripada kawan-kawannya. Anak berbakat menghargai bentuk-bentuk interaksi kerjasama dan demokratik tetapi kurang senang berkompromi.
b) Anak berbakat cenderung menunjukkan penyesuaian emosional yang lebih baik daripada anak yang lain seusianya walaupun kecenderungan ini lebih dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi daripada faktor kecerdasan.
c) Anak berbakat cenderung lebih mandiri dan kurang tertarik untuk berkonformitas terhadap teman sebayanyam lebih dominan, lebih mampu mengendalikan lingkungan, dan lebih kompetitif.
d) Anak berbakat seringkali menunjukkan kecakapan kepemimpinan dan menjadi terlibat dalam kegiatan dan kepedulian sosial.
e) Anak berbakat lebih cenderung nyaman untuk berinteraksi dengan individu yang lebih dewasa dari dirinya.

Wundt (Suharmini, 2007) pun menambahkan bahwa untuk melakukan deteksi dini terhadap anak-anak berbakat dapat diobservasi dari perilaku-perilaku yang nampak, tanda-tanda tersebut seperti perkembangan kognitif lebih cepat dibandingkan dengan anak pada umumnya. Selain itu anak terlihat memiliki pemikiran yang kritis dan mampu membaca serta menulis lebih awal. Hal tersebut dapat diobservasi di rumah. Anak mampu membaca surat kabar dan majalah-majalah yang ada di rumah. Lewis dkk (Suharmini, 2007) mengemukakan bahwa terdapat dua hal yang menarik dalam menfungsikan intelektual pada diri anak yang berbakat, yaitu: 1) mampu belajar lebih banyak dan lebih cepat serta mampu mengungkapkan kembali informasi yang telah ada di memori jangka panjang dengan cepat, 2) gambaran informasi yang masuk dalam memori jangka pendek lebih cepat diserap, lebih kreatif, dan terintegrasi. Utami Munandar juga menambahkan bahwa anak berbakat memiliki kemampuan berfikir yang superior, berfikir abstrak, memahami makna, dan memahami hubungan sebuah informasi atau stimulus yang ada di lingkungan. Selain itu anak berbakat juga memperlihatkan hasrat ingin tahu yang besar, siap dan mudah untuk belajar, memiliki rentang minat yang luas, memiliki rentang perhatian yang luas, bertahan dalam memecahkan masalah, dan memiliki hasrat tinggi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Anak berbakat juga memiliki kemampuan menangkap informasi dengan baik dan cepat, memiiki kapasitas memori yang memadai, memiliki kemampuan berbahasa yang tinggi secara kuantitas dan kualitas, penalaran tajam, memiliki banyak gagasan baru, memiliki imajinasi yang luar biasa, mampu membaca cepat, senang belajar kamus, peta, dan ensiklopedia (Suhamini, 2007).

Bila dikaitkan dengan definisi Renzulli (Munandar, 2006), maka karakteristik anak berbakat, di antaranya sebagai berikut:
1. Menunjukkan kemampuan di atas rata-rata, terutama di bidang:
a. Kemampuan Umum
Tingkat berpikir abstrak yang tinggi, penalaran verbal dan numerikal, hubungan spasial, ingatan, kelancaran kata,
Adaptasi terhadap dan pembentukan situasi baru dalam lingkungan eksternal, dan
Automatisasi pemrosesan informasi.
b. Kemampuan Khusus:
Aplikasi berbagai kombinasi kemampuan umum di atas terhadap bidang-bidang yang lebih spesifik (Mis. Matematika, Sain, Seni, kepemimpinan),
Kemampuan memperoleh dan membuat penggunaan yang tepat sejumlah pengetahuan formal, teknik, dan strategi di dalam menyelesaikan masalah-masalah tertentu, dan
Kemampuan untuk memilih informasi yang relevan dan tak relevan dengan problem atau bidang studi tertentu.
2. Menunjukkan Komitmen yang terhadap tugas, yang diindikasikan dengan:
a. Kemampuan yang tinggi terhadap minat, antusiasme, dan keterlibatan dengan suatu problem atau bidang tertentu,
b. Ketekunan, daya tahan, ketetapan hati, kerja keras, dan pengabdian,
c. Kepercayaan diri, adanya keyakinan mampu melaksanakan pekerjaan yang penting, bebas dari perasaan inferior, keinginan yang kuat untuk berprestasi,
d. Kemampuan mengidentifikasi masalah-masalah di bidang-bidang tertentu, dan
e. Menetapkan standar yang tinggi terhadap pekerjaan; memelihara keterbukaan diri dan kritik eksternal; mengembangkan rasa estetis, kualitas dan keunggulan tentang pekerjaannya sendiri dan pekerjaan orang lain.
3. Menunjukkan kreativitas yang tinggi, yang diindikasikan dengan:
a. Kelancaran, keluwesan, dan keaslian dalam berpikir,
b. Keterbukaan terhadap pengalaman; Reseptif terhadap apa yang baru dan berbeda dalam pikiran, tindakan, dan produk dirinya sendiri dan orang lain,
c. Ingin tahu, spekulatif, dan berpetualangan, keinginan untuk menghadapi resiko baik dalam pikiran maupun tindakan,
d. Sensitif terhadap karakteristik ide dan sesuatu yang rinci dan estetik; keinginan untuk bertindak dan bereaksi terhadap stimulasi elsternal, ide-ide dan perasaannya sendiri, dan
e. Sikap berani mengambil langkah atau keputusan menurut orang awam berisiko tinggi.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak Gifted
Ketika membahas mengenai sumber atau penyebab individu memiliki keberkatan ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor genetik dan biologis lainnya serta faktor lingkungan (Mangunsong, 2009). Penelitian dalam genetika perilaku menyatakan bahwa setiap jenis dari perkembangan perilaku dipengaruhi secara signifikan oleh gen atau keturunan. Walalupun keberadaaannya tidak lebih penting daripada lingkungan dimana anak diasuh. Adapun faktor biologik yang belum bersifat genetik, yang mempunyai andil dalam inteligensi adalah faktor gizi dan neurologik. Kekurangan nutrisi pada masa kecil dan gangguan neurologik yang terjadi dapat menyebabkan keterbelakan mental pada anak. Secara fisik, tinggi badan, daya tarik, dan kesehatan mampu mencerminkan salah satu bagian dari diri individu yang memiliki intelektual IQ yang tinggi.
Faktor selanjutnya adalah faktor lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut jelas memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan dari keberbakatan yang dimiliki individu. Perlu diketahui bahwa lingkungan yang memberikan stimulasi, kesempatan, harapan, tuntutan, dan imbalan pada diri individu akan mempengaruhi kinerja dan proses belajar pada diri individu. Mangunsong (2009) menjelaskan bahwa orangtua memiliki perlakuan yang berbeda pada anaknya, khususnya anak berbakat. Tidak jarang terdapat segelintir orangtua yang memandang negatif keberbakatan yang dimiliki oleh anaknya di tengah-tengah banyaknya orangtua yang memandang positif anaknya yang berbakat. Para ayah tampaknya lebih jarang melihat anak mereka sebagai anak berbakat dibandingkan para ibu. Perlu ditekankan bahwa rumah dan keluarga terdekat merupakan hal yang sangat berharga bagi sang anak, terutama ketika anak menjalani usia mudanya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa anak yang mendapatkan dukungan penuh dari keluarga akan tumbuh menjadi individu yang sukses di berbagai bidang. Ciri-ciri dukungan tersebut antara lain: 1) orangtua memiliki minat pribadi terhadap bakat yang dimiliki sang anak dan memberikan dukungan yang besar dalam masa perkembangan sang anak; 2) orangtua yang bisa menjadi role model atau panutan buat anaknya akan mengantarkan anaknya ke tangga kesuksesan; 3) anak senantiasa dilibatkan pada berbagai aktivitas yang dapat mengeksporasi bakat yang dimilikinya dan disertai dengan pemberian hadiah (reward) jika sang anak menampilkan perilaku yang positif; 4) keluarga terlibat langsung dalam proses pembelajaran yang diikuti oleh sang anak seperti memberikan jadwal belajar atau latihan serta menyediakan guru pendamping yang tepat untuk anak; 5) anak senantiasa ditanamkan nilai-nilai positif yang mendukung bakat yang dimiliki oleh sang anak; 6) anak dilengkapi sarana dan prasarana yang menunjang bakatnya; 7) serta orangtua mendorong keikutsertaan anak mereka dalam berbagai acara sebagai sarana untuk mempertunjukkan kemampuan anak di depan khalayak umum. Jadi kesimpulannya adalah anak-anak yang menyadari potensi yang dimilikinya perlu dikembangkan melalui keterlibatan dan rangsangan dari orangtua, pengarahan dorongan dan imbalan-imbalan untuk kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh sang anak (Hallahan & Kauffman, 1994 dalam Mangunsong, 2009).
Peran sekolah juga menjadi faktor penting bagi keberadaan anak berbakat.  Jika terdapat sekolah yang mampu mengidentifikasi anak yang berbakat, instruksi untuk siswa, model kurikulum yang tepat, pengukuhan (reward) dari hasil yang ditampilkan oleh anak akan membawa pengaruh yang baik bagi perkembangan anak berbakat. Apabila sekolah dapat menfasilitasi performa dari seluruh siswanya dimana seluruh siswanya mampu mencapai hasil yang maksimal, maka keberbakatan akan ditemukan hampir di seluruh siswa (Mangunsong, 2009).
Keberbakatan yang dimiliki oleh individu terkadang membuat anak tampak berbeda dengan anak lainnya. Sebagian anak dapat menerima perbedaan itu dengan positif sehingga mengantarkan mereka hidup dengan rasa bahagia, disukai oleh teman kelompoknya, memiliki emosi yang stabil, dan merasa puas dengan dirinya sendiri (self-suffecient). Kondisi tersebut juga membuat individu memiliki minat yang luas dan bervariasi serta dapat menerima diri mereka secara positif. Anak berbakat yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah ke atas mendapatkan kesempatan mengembangkan diri mereka, mendapat kesempatan pendidikan yang tepat, dan kesempatan untuk menggali minat yang mereka miliki. Anak berbakat juga dering bersikap peka/tanggap terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, memiliki kepedulian yang tinggi mengenai hubungan interpersonal, pernyataan diri, dan isu moral. Anak berbakat juga seringkali menggunakan kemampuan kognitifnya dalam membantu orang lain seperti strategi yang sering digunakan oleh orang dewasa (Mangunsong, 2009).
Di sisi lain, terdapat pula anak berbakat yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan apa yang menjadi bakat mereka. Anak-anak tersebut kadang tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang responsif terhadap kemampuan yang mereka miliki. Kondisi tersebut akan membentuk perilaku anak berbakat yang begitu luar biasa buruknya. Anak berbakat memiliki peluang untuk menjadi pelaku bullying terhadap lingkungannya, atau menjadi korban bullying dari teman-temannya. Sehingga kadang anak yang berbakat memiliki kecenderungan menjauh dari kelompok teman sebayanya (Hallahan & Kauffman dalam Mangunsong, 2009).

D. Klasifikasi Anak Gifted
Marland (Munandar, 2009) memaparkan bahwa ketika berbicara mengenai keberbakatan atau gifted maka akan mengacu pada keenam bidang keberbakatan yaitu sebagai berikut:
1. Bakat intelektual umum, yaitu kemampuan yang berhubungan langsung dengan kapasitas intelegensi individu yang biasanya disajikan dalam bentuk skor IQ.
2. Bakat akademik khusus, yaitu kemampuan individu yang berhubungan dengan hasil proses pembelajaran yang telah dilakukan individu. Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan tentang fakta dan prinsip serta penerapan ilmu yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
3. Bakat kreatif produktif, yaitu kemampuan luar biasa yang dimiliki individu meliputi kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi dalam berfikir.
4. Bakat kepemimpinan, yaitu kemampuan yang tidak hanya mengutamakan kemampuan inteligensi namun juga melibatkan aspek kepribadian yang sehat seperti rasa tanggung jawab yang tinggi, mampu melakukan perubahan dan pengendalian pada lingkungan di sekitarnya, serta memiliki keterlibatan aktif dengan individu-individu yang ada di sekitarnya.
5. Bakat seni visual dan pertunjukan, yaitu kemampuan yang tinggi pada  seni dan memiliki kreativitas dan kecerdasan yang memadai. Bakat ini lazimnya disebut dengan talenta.
6. Bakat psikomotor, yaitu kemampuan individu yang melibatkan koordinasi tubuh dengan kapasitas intelektual dan kreatifitas yang tinggi. Misalnya individu yang berbakat sebagai mekanik atau atlet olahraga.
E. Identifikasi Anak Gifted
Somantri (2005) menjelaskan bahwa identifikasi awal yahg disarankan untuk mengenali keberbakatan yang dimiliki individu adalah dengan melakukan pengujian kapasitas intelektual.

Berikut dipaparkan beberapa kemungkinan identifikasi anak berbakat yang dapat dilakukan:
1. Penggunaan tes kecerdasan
Pada umumnya tes keceradasan pada anak berbakat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut sebagai tahap penjaringan. Tahap penjaringan ini diberikan secara klasikal atau berkelompok. Tahap ini bertujuan untuk menemukan anak yang diduga termasuk anak berbakat yang biasanya secara intelektual memiliki skor IQ di atas 130. Tahap kedua yaitu tahap seleksi, dimana tes diberikan scara individual agar memberikan gambaran yang rinci, cermat, dan akurat mengenai kondisi anak. Biasanya jenis alat tes yang digunakan adalah tes inteligensi Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Sekarang ini seiring perkembangan kemajuan ilmu psikologi maka telah terjadi juga perkembangan jenis-jenis alat tes inteligensi. Salah satu bukti perkembangan alat tes inteligensi adalah dengan adanya alat tes bernama Slosson Full-Range Intelligence Test (S-FRIT) yang secara khusus menyajikan klasifikasi skor IQ dengan kategori gifted dan very gifted. Alat tes S-FRIT telah mulai popular digunakan oleh praktisi psikolog pendidikan untuk melakukan penegakan diagnosis untuk anak berbakat/gifted.
2. Melakukan studi kasus
Selain menggunakan alat tes, Somantri (2005) juga menyarankan untuk melakukan proses wawancara, pengamatan, pencatatan, dan studi dokumentasi yang berhubungan dengan riwayat perkembangan anak. Proses tersebut nantinya akan melibatkan semua individu yang berada di sekitar sang anak seperti orangtua, saudara, keluarga yang lain, guru, dan teman sebaya. Data yang diperoleh dengan menggunakan proses ini bisa dikatakan akan lebih kaya dibandingkan dengan proses penggunaan alat tes. Namun terkadang proses ini dihadapkan pada tantangan validitas pengamatan dan pengumpulan informasi. Dikhawatirkan terjadi bias-bias pengamatan dan informasi. Oleh karena itu untuk mengurangi potensi data yang bias maka sebaiknya ketika melakukan pengamatan atau pengumpulan data di dukung oleh pencatatan yang akurat dan dokumentasi yang mendukung.
Munandar (2009) juga memaparkan bahwa terdapat beberapa alat identifikasi yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan anak yang berbakat. Beberapa alat identifikasi tersebut dipaparkan berdasarkan enam klasifikasi bidang keberbakatan yang dikemukakan oleh Marland. Berikut pemaparannya:
1. Identifikasi kemampuan intelektual umum biasanya ditentukan dengan skor IQ (Intelligence Quotient) yaitu dengan menggunakan tes Stanford Binet dan Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) yang diberikan secara individu. Pemberian secara individu memiliki keuntungan tersendiri yaitu gambaran intelektual anak lebih rinci dan didukung oleh proses observasi yang tajam sehingga dengan cara ini permalasahan yang dihadapi anak berbakat dapat diidentifikasi dengan cermat. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan alat tes secara individu ini ternyata memakan waktu yang lama dengan biaya yang cukup mahal juga. Sehingga tes inteligensi yang digunakan secara klasikal tau berkelompok pun di tawarkan untuk menjadi alternatif ketika tes individu tidak memungkinkan untuk digunakan pada suatu proses pemeriksaan pskologis. Tes inteligensi kelompok dianggap lebih efisien, baik dalam hal pembiayaan dan waktu. Namun, adapun kekurangan dari tes inteligensi kelompok ini adalah tester tidak melakukan proses pengamatan secara individu sehingga tidak mampu menjamin bahwa hasil tes yang dilakukan adalah benar-benar kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh anak. Adapun tes inteligensi kelompok yang sering digunakan di Indonesia sampai sekarang adalah tes Progressive Matrices dari Raven dan Culture-Fair Intelligence Test (CFIT). Munandar (2009) mengatakan bahwa tes kemampuan intelektual biasanya digunakan pada dua tahap yaitu tahap penjaringan dan tahap seleksi, pemaparan tersebut senada yang dipaparkan oleh Somantri (2005) pada penjelasan sebelumnya. Tahap penjaringan direkomendasikan menggunakan tes kelompok dan pada tahap seleksi direkomendasikan menggunakan tes individu.
2. Identifikasi bakat akademik khusus, idealnya menggunakan tes prestasi belajar yang disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Akan tetapi kenyataannya sekarang penggunaan kurikulum yang tidak seragam masih belum mendukung pelaksanaan tes prestasi yang ideal tersebut. Sehingga masing-masing sekolah memiliki formulasi tersendiri untuk mengukur hasil pembelajaran akademik yang telah dilakukan oleh peserta didik (SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA). Adapun tes yang beberapa tahun terakhir ini selalu digunakan untuk mengukur kemampuan akademik calon mahasiswa baru (S1 atau S2) yaitu Tes Potensi Akademik (TPA).
3. Identifikasi bakat kreatif produktif, umumnya menggunakan tes kreatifitas yaitu Tes Kreativitas Figural (TKF) yang menggunakan konsep Torrance untuk umur 10-18 tahun dan Tes kreatifitas Verbal (TKV) yang menggunakan konsep Guilford. Kedua alat tes tersebut lazim digunakan sejak proses standarisasi di Indonesia telah dilakukan oleh Utami Munandar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Alat identifikasi yang lain adalah dengan menggunakan skala sikap keratif yang diadaptasi dari Creativity Attitude Survey yang disusun oleh Schaefer dan sklan penilaian anak berbakat oleh guru yang disusun oleh Renzulli (Munandar, 2009).
4. Identifikasi bakat kepemimpinan, masih belum memiliki cara identifikasi yang sudah dipatenkan. Akan tetapi Munandar (2009) memaparkan bahwa terdapat seorang ahli yang bernama Stogdill (1974) yang menemukan faktor-faktor yang sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, peran serta, status, dan situasi. Faktor tersebut dainggap cukup komprehensif untuk dijadikan dasar penyusunan prosedur identifikasi yang dapat digunakan untuk mendeteksi anak berbakat.
5. Identifikasi bakat seni visual dan pertunjukan, umumnya menggunakan proses observasi pada anak yang dilakukan oleh ahli-ahli pada bidang seni visual dan pertunjukan tersebut. Ahli yang tidak hanya sekedar memproduksi sebuah karya melainkan juga memiliki kemampuan inovatif dan kecenderungan untuk dapat membebaskan diri dari bentuk seni yang konvensional tradisional. Pada tahun 2009, Institut Kesenian Jakarta untuk pertama kalinya melakukan identifikasi bakat seni visual dan pertunjukan dengan mengikutsertakan tes inteligensi dan tes kreativitas, disamping melakukan tes untuk mengetahui pengetahuan khusus mahasiswa mengenai bidang seni yang digelutinya.
6. Identifikasi psikomotor, dapat dilakukan dengan menggunakan sub tes performance pada tes Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Sub tes tersebut memberikan informasi mengenai koordinasi visual motorik, organisasi visual, dan organisasi persepsi.
Tiel (2008) menjelaskan dalam bukunya bahwa beberapa ahli gifted yang melakukan identifikasi anak gifted secara individu dengan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Renzulli yang mencakup tiga komponen. Ketiga komponen tersebut adalah kapasitas inteligensi tinggi yang diukur dengan tes inteligensi (WISC dan Binet), kreativitas yang tinggi (TKV dan TKF), dan task commitment yang tinggi (observasi dan wawancara). Menurut Hawadi (2004) bahwa keberbakatan pada diri individu dapat ditegakkan jika individu tersebut memperoleh skor inteligensi 120 keatas. Sedangkan untuk skor kreativitasnya 110 keatas. Selain itu komitmen tugas pun terbukti memiliki kuantitas dan kualitas yang optimal.

F. Permasalahan pada Anak Gifted
Davis dan Rimm (1895 dalam munandar, 2009) memaparkan bahwa terdapat dua permasalahan pendidikan yang sering dihadapi oleh anak berbakat. Permasalahan tersebut adalah anak berbakat berprestasi kurang dan anak berbakat yang bermotivasi kurang. Anak berbakat yang berprestasi kurang ditandai dengan konsep diri yang rendah pada anak, kurangnya kepercayaan diri anak, dan memiliki control diri yang rendah. Kondisi tersebut akhirnya membuat anak berbakat merasa bahwa keberhasilan yang dicapainya hanyalah sebuah kebetulan belaka. Selain itu, biasanya anak yang berprestasi kurang memperlihat perilaku yang suka menghindar untuk melakukan proses belajar serta memiliki konsentrasi yang pendek ketika diarahkan untuk belajar.
Pada permasalahan anak berbakat yang memiliki motivasi kurang biasanya disebabkan oleh hambatan fisik dan psikis yang dimiliki oleh anak serta anak yang berada pada lingkungan yang buruk. Misalnya orangtua yang suka berperilaku buruh dan akhirnya ditiru oleh sang anak, suasana sekolah yang tidak mendukung pengembangan potensi anak, serta penolakan atau penghindaran yang dilakukan oleh guru dan teman sebaya terhadap anak berbakat tersebut.
Somantri (2005) memaparkan bahwa keberbakatan yang dimiliki individu tidak menjamin bahwa individu tersebut tidak akan menghadapi permasalahan-permasalahan dalam hidupnya. Masalah yang dihadapi biasanya langsung menyangkut diri individu itu sendiri, masalah anak berbakat yang berdampak pada keluarga, masalah anak berbakat yang berdampak pada masyarakat dan penyelenggara pendidikan.

Beberapa masalah yang dialami anak berbakat. Seperti masalah kesenjangan antara perkembangan kognitif dengan kekuatan fisik, perkembangan kognitif yang lebih cepat dibandingkan anak seusianya, kemampuan kognitif yang tidak diimbangi dengan perkembangan emosi dan kesadaran yang matang. Selain itu, masalah hubungan sosial pun sering dihadapi anak berbakat karena anak berbakat memiliki kematangan sosial dan kecakapan memimpin yang lebih awal. Kondisi tersebut kadang membuat anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya (Somantri, 2005). Permasalahan-permasalahan tersebut sering diistilahkan dengan disinkronitas perkembangan pada anak berbakat (Tiel, 2007). Apabila permasalahan yang berkaitan dengan emosi dan sosial pada anak berbakat tidak ditangani dengan baik maka anak tidak akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan optimalisasi pada potensi luar biasa yang dimilikinya. Tidak menutup kemungkinan anak akan memiliki prestasi belajar yang rendah atau lazimnya disebut dengan istilah underachiever (Shihab, 2012).

Masalah dan dampak pada keluarga anak berbakat adalah terkadang orangtua tidak mengetahui dan memahami kondisi sang anak yang berbakat sehingga orangtua memberikan label “aneh” pada sang anak. Anak yang lebih nyaman bergabung dengan individu dewasa yang ada di sekitarnya memaksa orangtua untuk menghardik anaknya agar bisa membaur dengan teman sebayanya. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menghantarkan anak pada kondisi yang tidak nyaman bagi sang anak dengan kata lain kesejahteraan psikologis anakpun diabaikan.

Masalah dan dampak bagi masyarakat dan layanan pendidikan yang ditimbulkan anak berbakat adalah kesan atau image anak-anak berbakat yang elit atau eksklusif. Kesan tersebut disebabkan oleh adanya layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada anak berbakat untuk mengoptimalkan kemampuan sang anak dan mengatasi beberapa kemungkinan permasalahan yang dihadapi anak berbakat.

Kajian mengenai permasalahan yang dihadapi oleh anak berbakat juga dikemukakan oleh Tiel (2008). Pada anak berbakat tidak menutup kemungkinan muncul masalah yang disebabkan faktor kuat dari keberbakatan yang ada. Adapun pemaparan permasalahan yang dialami   anak   berbakat    tersebut telah dipaparkan dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Masalah-masalah yang Dihadapi Anak Berbakat
Faktor Kuat Kemungkinan Masalah
Mudah mengingat/menerima informasi. Tidak sabaran; tidak menyukan latihan dasar.
Rasa ingin tahu yang tinggi; mencari yang bermakna. Betanya yang tidak-tidak/memalukan; minat yang berlebihan.
Memiliki motivasi dari dalam. Kemauan tinggi; tidak suka campur tangan dengan orang lain.
Senang menyelesaikan masalah; dapat membuat konsep, abstraksi, dan sintesa. Tidak suka hal-hal rutin; mempertanyakan cara pengajaran.
Mencari hubungan sebab-akibat. Tidak menyukai hal yang tidak jelas dan tidak logis, misalnya tradisi atau perasaan.
Menekankan kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Khawatir sekali akan masalah kemanusiaan.
Senang mengorganisir berbagai hal. Membuat peraturan yang rumit; tampil bossy.
Kosakatanya banyak, informasinya luas dan mendalam. Memanipulasi menggunakan bahasa; bosan dengan teman sekolah dan sebayanya.
Harapan tinggi akan diri sendiri dan orang lain. Tidak toleransi, perfeksionis, mudah depresi.

Faktor Kuat Kemungkinan Masalah
Kreatif/banyak akal; senang menggunakan caranya sendiri. Dianggap mengganggu dan si luar “jalur”.
Konsentrasinya intensif; mencurahkan perhatian yang besar dan sulit membelokkan dari hal-hal yang diminatinya. Lupa kewajiban dan orang lain saat berkonsentrasi; tidak suka disela/diganggu; keras kepala.
Sensitif, empati; ingin diterima oleh orang lain. Sensitif terhadap kritik atau penolakan dari teman sebayanya.
Energik, semangat tinggi serta sangat alert. Frustrasi karena tidak ada kegiatan; tampak seperti hiperaktif.
Independen, memilih bekerja sendiri; bertumpu pada diri sendiri. Menolah masukan dari orangtua dan teman sebaya; tidak bisa kompromi.
Minat yang luas/bermacam-macam dan memiliki kemampuan; berubah-ubah. Tampil tidak terorganisasi dan berantakan; frustrasi karena kekurangan waktu.
Rasa humor tinggi. Sebagian orang bisa salah mengartikan humor yang ditampilkan sang anak; mencari perhatian dengan menggunakan humor.

Masalah-masalah yang dipaparkan tersebut jika tidak ditangani sesegera mungkin akan berpotensi menimbulkan masalah baru lagi buat anak berbakat. Potensi masalah yang timbul adalah anak akan mengalami proses belajar yang kurang efektif dan akhirnya akan mempengaruhi hasil belajar anak sehingga rendah padahal memiliki potensi yang sangat luar biasa atau mengalami masalah underachiever (Tiel, 2008).

Hallahan dan Kauffman (Mangunsong) memaparkan bahwa anak-anak yang tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya akan berpotensi untuk berperilaku negatif misalnya berpeluang untuk menjadi pelaku bullying terhadap lingkungannya, atau menjadi korban bullying dari teman-temannya. Sehingga kadang anak yang berbakat memiliki kecenderungan menjauh dari kelompok teman sebayanya.

Misero dan Hawadi (2012) juga menjelaskan bahwa anak berbakat sering menalami masalah penyesuaian diri, khususnya anak berbakat yang ditempatkan pada kelas khusus yaitu akselerasi. Terdapat 6 (enam) adjustment problems yang dialami oleh siswa akselerasi, yaitu tugas sekolah yang tidak menantang (unchallenging schoolwork), miskinnya hubungan interpersonal (poor interpersonal relationship), harapan orang tua yang tidak realistis (parental expectation), multipotensialitas (multipotentiality), dan keterlibatan yang tinggi pada aktivitas-aktivitas tertentu (intense involvement).

Jika membahas mengenai masalah sosial maka terdapat segelintir anak berbakat yang mengalami masalah sosial karena memiliki permasalahan komunikasi. Student Support Services (2000) dalam tulisannya yang berjudul Communication Disorders menjelaskan bahwa anak-anak yang berbakat tidak menutup kemungkinan di antara mereka mengalami masalah komunikasi. Masalah komunikasi tersebut dapat disebabkan oleh keterlambatan atau gangguan dalam berbicara dan/atau bahasa. Kondisi yang sama juga dikemukakan oleh Boer (Tiel, 2007) yang memaparkan bahwa sebagian anak berbakat mempunyai perkembangan bicara dan bahasa yang sangat pesat, tetapi sebagian lagi mengalami keterlambatan bicara. Misalnya seorang anak yang berbakat sebagai musisi dan mampu membaca dan menulis sebuah lagu tetapi gagap. Contoh lain adalah terdapat anak yang mengalami bakat yang luar biasa dalam bidang matematika namun mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan anak menggunakan bahasa ekspresif atau mengalami gangguan fonologi sehingga ketika berkomunikasi, apa yang dikatakannya sulit dipahami oleh lawan bicaranya.

G. Model pendidikan Anak Gifted dan Model Intervensi pada Berbagai Masalah Anak Gifted
1. Model pendidikan anak gifted  “Program Akselerasi”
Membahas mengenai dasar pendididkan bagi anak berbakat/gifted maka pembahasan akan dimulai pada penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Berkiblat dari Undang-undang tersebut maka pemerintah menyelenggarakan program akselerasi yang merupakan salah satu implementasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4, yaitu  “Bahwa warga Negara yang memiliki kercerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (Hawadi, 2014). Senada dengan Somantri (2005) yang memaparkan bahwa salah satu model pendidikan yang bisa dikatakan efektif untuk diberikan kepada anak berbakat adalah model pendidikan percepatan belajar atau lebih umum disebut akselerasi.
Adapun definisi dari akselerasi adalah Colangelo (Hawadi, 2004) memaparkan bahwa istilah akselarasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery), dan kurikulum yang disampaikan (currikulum delivery). Sebagai model pelayanan, pengertian akselarasi termasuk juga taman kanak-kanak atau perguruan tinggi pada usia muda, meloncat kelas, dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselarasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Dalam hal ini, akselarasi dapat dilakukan dalam kelas reguler, ruang sumber, ataupun kelas khusus dan bentuk akselarasi yang diambil bisa telescoping dan siswa dapat menyelesaikan dua tahun atau lebih kegiatan belajarnya menjadi satu tahun dengan cara self-paced studies, yaitu siswa mengatur kecepatan belajarnya sendiri.

Selanjutnya pelaksanaan program akselerasi tidak terlepas dari manfaat yang ditimbulkannya begitupun dengan kelemahan yang dapat menggoyahkan eksistensi program akselerasi di Inodonesia. Menurut Hawadi (2004) manfaat yang diperoleh anak berbakat pada program akselerasi adalah anak mampu melakukan proses belajar yang efisien, efektif, memperoleh penghargaan dalam proses belajarnya, pemanfaatan waktu untuk melakukan proses pengembangan diri, dan menempatkan siswa pada kelompok siswa yang memiliki kesetaraan dalam hal kapasitas intelektual. Sedangkan kelemahan program akselerasi adalah kemungkinan terdapat anak yang immature dalam hal sosial, fisik, dan emosional meskipun secara kognitif sangat berkembang pesat.

Pendapat lain dipaparkan dalam hasil penelitian yang dilakukan Colangelo (2010) yang menjelaskan bahwa intervensi pendidikan dengan percepatan akademik (akselerasi) adalah jelas efektif untuk siswa berkemampuan tinggi. Dukungan penelitian untuk percepatan akademik ini telah terakumulasi selama beberapa dekade secara kuat dan konsisten serta memungkinkan kita untuk percaya diri menyatakan bahwa keputusan percepatan direncanakan dengan hati-hati dan sukses. Program akselerasi yang diwujudkan dalam sebuah kelas kaselerasi merupakan intervensi yang efektif dalam domain akademik dan sosial-emosional bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik yang sangat optimal. Sehingga masyarakat sering memandang bahwa anak yang bergabung dalam kelas akselerasi secara akademik lebih unggul dibandingkan anak kelas regular, begitupun dengan perkembangan aspek emosi dan sosial yang lebih matang dibandingkan siswa reguler.

Keberadaan program akselerasi sendiri mulai di uji coba sejak tahun 1999 dan mulai didukung oleh pemerintah secara penuh sejak tahun 2010 (Asosiasi Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa Nasional, 2011). Bagi sekolah yang menyelenggarakan program akselerasi maka akan diberikan dana penunjang khusus untuk keberlangsungan program tersebut. Namun, sejak akhir tahun 2014 terkuak wacana bahwa program akselerasi akan dihapuskan dan akan diganti dengan sistem kredit (SKS) dan wacana tersebut akhirnya terbukti dengan dihapuskannya seluruh kelas akselerasi yang ada di Indonesia pada tahun ajaran 2015-2016. Program akselerasi dihapuskan ditenggarai oleh beberapa alasan yaitu program akselerasi bentrok dengan kurikulum 2013 yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2015-2016 nantinya, program akselerasi kurang melatih keterampilan sosial siswa karena bersifat eksklusif atau terdisintegrasi, dan banyaknya manipulasi data dari sekolah yang hanya tergiur dengan dana tambahan jika menerapkan program akselerasi di sekolahnya (misalnya manipulasi data skor IQ, minimal 130 untuk bergabung dalam kelas akselerasi) tanpa mempertimbangkan keefektifan pelaksanaan program akselerasi (Gatot, 2012).

Hawadi (2004) juga menawarkan beberapa model layanan pendidikan untuk anak berbakat kepada pemerintah, yaitu:
a. Akselerasi bidang studi, model akselerasi ini bisa hanya diberikan untuk satu mata pelajaran yang menonjol dan sangat dikuasai siswa;
b. Mentorship, layanana ini diberikan oleh sekolah jika di sekolah tersebut hanya terdapat satu siswa yang berbakat. Model pelayanan ini dikenal dengan mentorship atau self paced instruction;
c. Kelas super Saturday, merencanakan program setiap hari sabtu untuk anak berbakat yang bertujuan untuk menfasilitasi pengembangan potensi anak berbakat; dan
d. Sertifikasi bagi guru pengajar gifted, hal tersebut bertujuan untuk menjamin  dan menjaga kualitas layanan pendidikan untuk anak berbakat karena dikhawatirkan jikan kualitas guru tidak dipersiapkan dengan baik ditakutkan guru yang mengajar memiliki kemampuan intelektual di bawah dari siswa yang diajarinya.
2. Model pembelajaran “Terdifferensiasi”
Strategi pembelajaran yang efektif untuk anak berbakat dengan merancang model pembelajaran yang terdifferensiasi sehingga semua kebutuhan anak berbakat bisa terpenuhi (Amin, 2009). Pemaparan strategi pembelajaran terdiferensiasi yang dapat diterapkan pada anak berbakat berkaitan dengan kemampuan pengajar untuk melakukan modifikasi lima unsur dalam kegiatan pembelajaran (Mukti dan Sayakti, 2003 dalam Amin, 2009), yaitu:
a. Materi pelajaran
Guru bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua siswa mempelajari materi pelajaran dalam kurikulum yang harus dikuasai siswa. Namun guru tidak harus mengajarkan materi pelajaran tersebut pada semua siswa. Artinya siswa yang telah menguasai kompetensi atau bahan ajar tertentu boleh mengurangi waktu yang diperlukan untuk menguasai kompetensi dan bahan ajar itu. Mereka boleh meloncatinya. Materi pelajaran dapat dimodifikasi melalui berbagai kegiatan pembelajaran, yaitu:
1) Pemadatan materi pelajaran
Terdapat langkah untuk memadatkan materi pelajaran, yaitu, (a) tentukan tujuan pembelajaran pada materi yang akan diajarkan; (b) cari cara yang sesuai untuk mengevaluasi tujuan pembelajaran tersebut; (c) identifikasi siswa yang mungkin telah menguasai tujuan (atau dapat menguasainya dengan cepat); (d) evaluasi siswa-siswa tersebut untuk menentukan tingkat penguasaan; (e) kurangi waktu yang diperlukan siswa untuk mempelajari materi yang telah dikuasai; (f) berikan pelajaran pada sekelompok kecil atau siswa secara individu yang belum menguasai tujuan pembelajaran di atas, tetapi dapat menguasainya lebih cepat dari teman-teman lainnya; (g) dokumentasikan kegiatan belajar pengganti yang lebih menantang yang sesuai dengan minat siswa; (h) dokumentasikan proses pemadatan dan opsi pembelajaran.
2) Studi intradisipliner
Studi interdisipler merupakan studi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam rangka mengkaji atau memecahkan satu permasalahan atau satu topik. Oleh karena itu, guru mata pelajaran yang ingin memodifikasi tema atau topik tertentu dari materi pelajaran, dapat bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain yang relevan. Guru membentuk team teaching dalam menjelaskan suatu topik tertentu. Dengan demikian para siswa akan mendapat wawasan yang komprehensif tentang topik yang dibahas. Memang ada satu kesulitan dalam membentuk team teaching tersebut, yaitu kekompakan sering menjadi kendala.
3) Kajian mendalam
Cara ini dilakukan oleh siswa berbakat bila mereka sudah siap dengan kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, waktu dan energi yang dibutuhkan untuk tugas ini. Minat siswa pada suatu topik merupakan penentu utama dari kemauan untuk mengeksplorasi topik itu secara mendalam.
b. Proses
Belajar adalah membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri invidu terbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi multi arah antara guru dengan siswa secara individu, guru dengan siswa secara kelompok, siswa dengan siswa secara individu dan siswa dengan kelompoknya serta kelompok siswa dengan kelompok siswa yang lain.
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh guru untuk memodifikasi proses pengajaran dan pembelajaran, antara lain dengan:
1) Mengembangkan kecakapan berpikir.
Siswa berbakat perlu mengembangkan kecakapan berpikir analitis, sintesis, evaluasi, problem solving, organisasional, kritis dan kreatif. Guru dapat mengajarkan secara langsung kecakapan ini atau memadukannya dalam materi pelajaran. Kecakapan berpikir juga bisa dikembangkan melalui teknik bertanya. Menggunakan pendekatan student centered, yang menekankan perbedaan individual setiap anak, dan lebih terbuka (divergent) untuk memberikan kesempatan mobilitas yang tinggi pada anak. Selain itu, menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara sehat.
2) Hubungan dalam dan lintas disiplin
Hal ini dilakukan untuk memberikan pengalaman dan wawasan yang komprehensif dari berbagai disiplin yang relevan terhadap suatu topik tertentu. Dalam konteks ini, dimungkinkan seorang siswa itu hanya unggul pada suatu disiplin tertentu sedangkan siswa yang lain unggul pada disiplin lainnya, oleh karena itu mereka akan saling membutuhkan dan terjadilah kerjasama. Dengan demikian pendekatan pembelajaran yang dipergunakan adalah pendekatan pembelajaran kooperatif. Hal tersebut berarti bahwa dalam diri setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaan. Mereka diberi tugas dalam kelompok kemudian secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai.
3) Studi mandiri
Sebagian siswa berbakat senang bekerja sendiri, mulai dari menentukan topik yang menjadi fokus pembelajaran, menentukan cara dan waktu penyelesaian, menentukan sumber pembelajaran, dan menentukan format hasil akhir dari pembelajarannya. Guru dapat memfasilitasi pembelajaran mandiri dengan cara mengelompokkan siswa berdasarkan minat yang sama. Bila seorang siswa benar-benar ingin lebih mendalami suatu topik, guru bisa menawarkan satu kontrak pembelajaran mandiri bagi siswa yang bersangkutan
c. Produk
Dalam memodifikasi produk atau hasil, guru dapat mendorong siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajari atau dikerjakan ke dalam beragam format yang mencerminkan pengetahuan maupun kemampuan untuk memanipulasi ide. Misalnya daripada meminta siswa untuk menambah jumlah halaman laporan dari suatu bab, guru bisa meminta siswa untuk mensintesis pengetahuan yang telah diperoleh. Guru juga bisa memberikan kesempatan kepada siswa berbakat untuk menginvestigasi masalah nyata yang terjadi disekitarnya dan mempresentasikan solusinya.
d. Lingkungan Belajar
Antara lingkungan dan individu terjalin sebuah proses interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Individu seringkali terbentuk oleh lingkungan, begitu juga sebaliknya lingkungan dibentuk oleh individu (manusia). Perilaku individu dapat menyebabkan perubahan lingkungan baik bersifat positif ataupun negatif. Perubahan positif berarti menimbulkan perubahan ke arah perbaikan, penyempurnaan atau penambahan. Iklim belajar di kelas sebagai salah satu lingkungan bagi para siswa merupakan faktor yang mempengaruhi secara langsung pada gaya belajar dan minat siswa. Sikap guru sangat menentukan iklim di dalam kelas.
Lingkungan belajar yang sesuai adalah yang mengandung kebebasan memilih dalam satu disiplin, kesempatan untuk mempraktikkan kreativitas, interaksi kelompok, kemandirian dalam belajar, kompleksitas pemikiran. keterbukaan terhadap ide, mobilitas gerak, menerima opini, dan melakukan proses belajar hingga ke luar ruang kelas. Untuk itu guru harus mampu membuat pilihan-pilihan yang sesuai mulai dari apa yang akan diajarkan, bagaimana mengajarkannya, materi dan sumber daya apa yang perlu disediakan hingga bagaimana mengevaluasi pertumbuhan belajar siswa. Pemanfaatan lingkungan sekitar dalam proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, yakni dengan cara membawa siswa ke masyarakat.
e. Evaluasi
Memodifikasi evaluasi berarti menentukan suatu metode untuk mendokumentasikan penguasaan materi pelajaran pada siswa berbakat. Guru harus memastikan bahwa siswa berbakat memiliki kesempatan untuk mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran sebelumnya ketika akan mengajarkan pokok bahasan, topik atau unit baru mata pelajaran.
3. Model intervensi pada berbagai masalah anak gifted
a. Intervensi anak gifted yang berprestasi kurang (underachiever) dan anak gifted yang bermotivasi kurang

Menurut Wahab (2005b) peran keluarga dapat dioptimalkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami anak berbakat underachiever dalam mencapai hasil belajar yang optimal.

Berikut pemaparan beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh pihak keluarga untuk meningkatkan prestasi sang anak:
1) Strategi Supportif
Anak-anak berbakat yang hidup dalam iklim keluarga yang saling menghargai, demokratis, dan saling memahami kebutuhan masing-masing anggota keluarga sangat mendukung dan memberikan umpan balik yang positif terhadap beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak (Rimm, 1986 dalam Wahab, 2005b).
2) Strategi Instrinsik
Anak berbakat tidak akan bahagia dan merasa sempurna sampai dia menggunakan kemampuannya sampai pada tingkat yang optimal. Oleh karena itu harusnya orangtua melihat dan memahami kondisi sang anak sehingga dapat memberikan bantuan yang sesuai. Memberikan suatu lingkungan pendidikan yang menunjang pemenuhan kebutuhan belajar anak sangat menstimulasi kemampuan anak yang baik dalam proses belajarnya. Anak yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dengan mudahnya akan menjadi redam, jika lingkungan pendidikan tidak menstimulasi; penempatan kelas dan pendekatan mengajar yang tidak tepat; anak mengalami guru yang tidak efektif; atau tugas yang secara konsisten terlalu sulit atau mudah bagi sang anak.
3) Pressure versus encouragement
Bagi orangtua hal yang penting juga untuk diperhatikan adalah sikap mereka terhadap proses dan hasil belajar yang dilakukan oleh sang anak. Terkadang orangtua terlalu menekan proses dan hasil belajar sang anak tanpa mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki oleh sang anak dalam memenuhi kebutuhannya. Padahal yang dibutuhkan oleh sang anak adalah dorongan bukan tekanan. Dorongan yang dimaksud adalah usaha-usaha konkrit yang dilakukan oleh sang anak untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
Sedangkan intervensi yang dapat diberikan kepada anak yang bermotivasi kurang adalah dengan memberikan bimbingan konseling yang continue pada sang anak (2009). Sehingga anak merasa bahwa dirinya cukup diperhatikan dan diharapkan untuk melakukan proses belajar atau pengembangan potensi yang sesuai dengan potensi luar biasa yang dimilikinya. Pemberi konseling tidak hanya terpaku pada guru BK, melainkan keterlibatan orangtua dan teman sebaya juga sangat membantu untuk meningkatkan motivasi sang anak. Berbicara mengenai konseling, penelitian yang dilakukan oleh Kerr dan Erb (1991) juga secara khusus mengkaji efektivitas konseling karir pada anak berbakat dengan talenta tertentu agar memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Konseling karir dianggap penting mengingat bahwa tidak semua anak berbakat atau keluarga anak berbakat memahami kondisi keberbakatan yang dimiliki.
b. Intervensi anak gifted yang mengalami masalah sosial dan emosi
Penelitian yang dilakukan oleh Diezmann dan Watters (1997) memaparkan bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh individu-individu yang berada di sekitar anak berbakat adalah memodifikasi lingkungan anak berbakat tersebut. Modifikasi lingkungan dalam hal ini adalah bagaimana lingkungan anak berbakat didesain untuk sedemikian rupa sehingga bisa mendukung dan mengakomodasi pengembangan potensi yang dimiliki oleh sang anak. Hal senada juga dikemukakan oleh Blackett dan Webb lingkungan anak berbakat khususnya lingkungan keluarga dengan keberdaan orangtua yang menyadari dan memahami kondisi sang anak akan sangat berpengaruh positif bagi perkembangan emosi dan sosial anak berbakat. Orangtua yang selalu mengarahkan sang anak ke arah pengembangan potensi dan senantiasa memberikan kesadaran diri yang positif anak terhadap kerberbakatan yang dimilikinya. Ketika anak mendapatkan perlakuan sesuai dengan kemampuannya dan menyadari sepenuhnya bahwa dirinya memang berbeda dari teman sebayanya maka anak akan paham bagaimana cara berperilaku di dalam masyarakat. Masalah emosi dan sosial pada anak berbakat dianggap penting mengingat anak berbakat itu sendiri memiliki unsur dramatis yang bisa menghantarkan sang anak pada jurang permasalahan, seperti adanya perkembangan yang tidak sinkron, rangsangan dari lingkungan terlalu berlebihan, anak memiliki cara berfikir dan gaya belajar yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
c. Intervensi anak gifted yang mengalami masalah hambatan berbicara
Adapun langkah efektif yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk menangani hambatan berbicara anak yang mengalami masalah fonologi atau artikulasi, yaitu (Tiel, 2008):
1) Orangtua sebagai pelaku guru pertama dalam hidup sang anak diharapkan selalu menstimulasi kemampuan artikulasi anak dengan baik. Misalnya selalu membangun komunikasi verbal dengan anak sehingga anak senantiasa terbiasa menggunakan komunikasi verbal dan apabila terdapat kesalahan artikulasi, orangtu bisa langsung memberikan contoh yang tepat bagi sang anak,
2) Mendaftarkan sang anak untuk mengikuti speech therapy, dan
3) Orangtua dituntut untuk aktif bekerjasama dengan guru pendamping siswa di sekolah, sehingga orangtua juga terlibat aktif dalam penanganan masalah sang anak.


DAFTAR PUSTAKA
Amin. (2009). Pembelajaran Berdiferensiasi: Alternatif Pendekatan Pembelajaran bagi Anak Berbakat. Jurnal Edukasi,  1(1): 57 – 67.
Asosiasi Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa Nasional. (2011). Sejarah program akselerasi di Indonesia (Online). https://asosiasicibinasional.wordpress.com/2011/08/13/sejarah-program-akselerasi-di-indonesia/. Di akses tanggal 1 Agustus 2015.
Blackett, R & Webb, J. T. (2011). The social-emotional dimension of gifted: The SENG support model. The Australasian Journal of Gifted Education, 20(1): 1-14. http://www.thinkingahead.com.
Colangelo, dkk. (2010). Guidelines for developing an academic acceleration policy. Journal of Advanced Academics, 20(1), 180–203.
Diezmann, C. M., & Watters, J. J. (1997). Bright but bored: Optimising the environment for gifted children. Australian Journal of Early Childhood, 22(2), 17-21.
Gatot. (2014). Berbenturan dengan K13, mulai 2015 kelas akselerasi distop (Online). http://radarpena.com//read/2014/10/14/12151/6/2/Berbenturan-dengan-K13-Mulai-2015-Kelas-Akselerasi-Distop. Di akses tanggal 1 Agustus 2015.
Hawadi. (2004). Akselerasi, A-Z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hoogeveen, L., Hell, J. G. V &Verhoeven, L. (2011). Social-emotional characteristics of gifted accelerated and non-accelerated students in the Netherlands. British Journal of Educational Psychology, 1(1): 1-21. DOI:10.1111/j.2044-8279.2011.02047.
Kerr, B & Erb, C. (1991). Career counseling with academically talented students: Effects of a value-based intervention. Journal of Counseling Psychology, 38(3): 309-314. Doi.org/10.1037/0022-0167.38.3.309.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus, Jilid dua. Depok: LPSP3.
Misero, P. S & Hawadi, L. F. (2012). Adjustment Problems dan Psychological Well-Being pada Siswa Akseleran (Studi Korelasional pada SMPN 19 Jakarta dan SMP Labschool Kebayoran Baru). Jurnal Psikologi Pitutur, 1(1): 68-80.
Munandar, U. (2009). Pengembangan kreatifitas anak berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sarwindah, D. (2006). Diktat kuliah psikologi anak khusus. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.
Shihab, I. A. (2012). Problems Affecting Gifted Children In Jordanian Schools. American Journal of Health Sciences, 3(4): 301-310. The Clute Institute http://www.cluteinstitute.com.
Somantri, S. (2005). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama.
Student Support Services. (2000). Communication disorders (e-book). Durham District School Board: http://www.ed.gov.nl.ca/edu/k12/studentsupportservices/publications/CommunicationDisordersHandbook.pdf. Diakses tanggal 18 Juni 2015.
Suharmini, T. (2007). Psikologi anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Tiel, J.M.V. (2008). Anakku terlambat bicara. Jakarta: Prenada Media Group.
Wahab. R. (2005a). Mengenal anak berbakat akademik dan upaya mengidentifikasinya.. Prosiding Keberbakatan,  Psikologi Universitas Diponegoro.
Wahab. R. (2005b). Peranan orangtua dan pendidik dalam mengoptimalkan potensi anak berbakat akademik. Prosiding Keberbakatan,  Psikologi Universitas Diponegoro.





No comments for "Siswa Berkebutuhan Khusus: GIFTED"