Anak Berkebutuhan Khusus: Autisme

Autisme

Definisi
Menurut PPDGJ-III autisme adalah gangguan perkembangan pervasive yang ditandai oleh adanya kelainan dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.

Menurut Kanner (1943) autisme diartikan sebagi ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan bahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, membalikkan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Fauzia, dkk 2009).

Menurut istilah kedokteran, psikiatri, dan psikologi, autism termasuk dalam gangguan perkembangan pervasive (pervasive developmental disorder yang ditandai dengan  adanya distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa,seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik. Sedangkan Gulo dalam kamus psikologi umum menjelaskan autisme sebagai preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau mereka lebih lebih banyak berorientasi dengan pikiran subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari (Fauzia, dkk 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya autisme
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya autisme (Fauzia, dkk 2009) yaitu
1. Teori Psikososial
Kanner menyatakan bahwa ada pengaruh psikogenik sebagai penyebab autisme yaitu orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, pengasuhan yang dilakukan dalam kondisi yang tidak hangat bahkan terlihat dingin atau tidak peduli. Hal ini seperti yang diungkapkan juga oleh Bruno Bettelheim yang menyatakan bahwa perilaku orang tua dapat menimbulkan perasaan terancam pada anak-anak sehingga dapat membuat anak menjadi mengalami autisme.
2. Teori biologis
a. Faktor genetik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan sekitar 36-89% sedangkan tidak ditemukan. Hal tersebut pada anak kembar dari dua telur. Pada penelitian terhadap keluarga ditemukan 2,5-3% autisme terjadi pada saudara kandung yang berarti 50-100 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal(Fauzia, dkk 2009).
Penelitian terbaru menemukan adanya peningkatan gangguan psikiatrik pada anggota keluarga dari penyandang autisme berupa peningkatan insiden gangguan afektif, anxietas, dan peningkatan gangguan dalam fungsi sosial. Selain itu, ada juga ditemukan hubungan antara autism dengan sindrom fragile X yaitu suatu keadaan abnormal dari kromosom X. Pada sindrom ini ditemukan adanya kumpulan dari berbagai gejala seperti retardasi mental dari yang ringat sampai berat, kesulitan belajar pada yang ringan, daya ingat jangka pendek yang buruk, fisik yang abnormal pada 80% laki-laki dewasa, clumsiness, serangan kejang, dan hiperefleksi. Sindrom fragile X diduga terdapat 0-20% terdapat pada anak autism. Selain itu juga sering tampak gangguan perilaku seperti hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impulsive, dan anxietas.
b. Faktor perinatal
Komplikasi yang sering ditemukan adalah terjadinya pendarahan setelah trimester pertama dan ada kotoran janin pada cairan amnon yang merupakan tanda bahaya dari janin (fetal distress). Penggunaan obat-obatan tertentu pada ibu yang sedang mengandung diduga ada hubungannya dengan timbulnya autisme. Selain itu, adanya komplikasi saat bersalin yaitu bayi yang terlambat menangis, gangguan pernapasan, anemia pada janin diduga memiliki hubungan dengan autisme.
c. Model neuroanatomi
Ada beberapa daerah di otak anak autism yang diduga mengalami disfungsi. Adanya kesamaan perilaku autistik dan perilaku abnormal pada orang dewasa yang diketahui memiliki lesi di otak telah dijadikan dasar dari berbagai teori penyebab autisme.
d. Hipotesis nerokemistri
Pada tahun 1961 telah ditemukan penelitian mengenai kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada sepertiga anak autisme. Hal ini telah membuat para peneliti fokus pada hal tersebut sehingga dapat menggunakan terapi obat untuk mengani abnormalitas dari autisme. Berikiut ini merupakan jenis neurotransmitter yang diduga memiliki hubungan dengan autisme yaitu serotonin, dopamine, dan opioid endogen.
3. Teori imunologi
Ditemukan adanya penurunan respon dari sistem imun pada beberapa anak autisme. Selain itu juga ditemukannya antibodi beberapa ibu terhadap antigen lekosit pada anak mereka yang autisme. Hal ini semakin diperkuat dengan juga ditemukannya antigen lekosit  pada sel-sel otak. Oleh karena itu, antobodi ibu dapat secara langsung merusak jaringan syaraf otak janin yang menjadi penyebab autisme.
4. Infeksi virus
Adanya peningkatan frekuensi yang tinggi dari gangguan autisme pada anak-anak dengan congenital rubella, herpes simplex encephalitis, dan cytomegalovirus infection, dan anak-anak yang lahir selama musim semi dengan kemungkinan ibu mereka mengalami influenza pada musim dingin saat mereka berada di rahim ibunya diduga terkena infeksi virus yang merupakan salah satu penyebab autisme.
5. Karakteristik
Di dalam DSM (Diagnostic Statistical Manual) IV karakteristik autisme yaitu
A. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok 1, 2, dan 3 yang meliputi paling sedikit 1 pokok dari kelompok 1, paling sedikit 1 pokok dari kelompok 2, paling sedikit 1 pokok dari kelompok 3.
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit 2 diantara yang berikut ini:
a. Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial.
b. Ketidakmampuan mengembangkan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c. Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.
d. Kekurangmampuan dalam berhubungan emosional secara emosional secara timbal balik dengan orang lain.
2. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit 1 dari yang berikut ini:
a. Keterlambatan  atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gesture atau mimic muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi).
b. Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan yang sederhana.
c. Penggunaan bahasa yang repetitive (diulang-ulang) atau stereotype (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh).
d. Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive (diulang-ulang), dan stereotype (meniru-niru) seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak 1 dari yang berikut ini:
a. Kesenangan dengan satu atau lebih pola minat yang terbatas atau stereotype yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun fokus.
b. Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan fungsi).
c. Perilaku gerakan stereotype dan repetitive (seperti terus menerus membuka tutup genggaman, memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara yang kompleks).
d. Kesenangan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.
B. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal paling sedikit 1 bidang dari 3 bidang berikut ini:
1. Interaksi sosial, bahasa yang digunakan dalam perkembangan sosial.
2. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial.
3. Permainan simbolik atau imajinatif.
C. Tidak termasuk dalam gangguan rett, gangguan integrative anak-anak, atau sindrom asperger.
6. Ciri-ciri
Ciri utama dari anak autisme terjadi pada gangguan dalam interaksi, komunikasi, dan perilaku. Namun selain itu, ada karakteristik tambahan yang dimiliki oleh mereka yaitu gangguan dalam kognitif, persepsi sensori, motorik, afek atau mood, tingkah laku agresif dan berbahaya, serta gangguan tidur dan makan (Mangunsong, 2009)

Gangguan interaksi sosial yang terjadi pada anak autisme yaitu:
a. Bayi atau balita autis tidak merespon normal ketika diangkat atau dipeluk.
b. Anak-anak autis tidak menunjukkan perbedaan respon ketika berhadapan dengan orang tua, saudara kandung atau guru dengan orang asing.
c. Anak-anak autis enggan berinteraksi secara aktif dengan orang lain. Mereka tidak memiliki minat untuk berinteraksi dengan orang lain. mereka cenderung asik dan nyaman dengan kesendiriannya dan bermain dengan benda-benda yang disukainya.
d. Anak-anak autis tidak tersenyum pada situasi sosial tetapi tersenyum atau tertawa ketika tidak ada sesuatu yang lucu.
e. Anak-anak autis memiliki tatapan yang berbeda. Mereka menghindari kontak mata atau melihat sesuatu dari sudut matanya.
f. Anak-anak autis tidak bemain seperti layaknya anak normal.

Gangguan komunikasi yang terjadi pada anak autisme yaitu:
a. Anak-anak autis tidak memiliki perhatian untuk berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi untuk tujuan sosial.
b. Gumaman yang biasanya muncul sebelum anak normal dapat berkata-kata mungkin tidak terlihat pada anak-anak autis.
c. Anak-anak autis mengalami abnormalitas dalam intonasi, rate, volume, dan isi bahsa. Misalnya Anak-anak autis berbicara seperti robot, echolalia, mengulang-ngulang apa yang didengar, revers pronouns, sulit menggunakan bahasa dalam interaksi sosial karena mereka tidak sadar terhadap reaksi pendengarnya.
d. Anak-anak autis sering tidak memahami ucapan yang ditujukan kepada mereka.
e. Anak-anak autis sulit memahami bahwa satu kata dapat memiliki banyak makna.
f. Anak-anak autis menggunakan kata-kata yang aneh atau kiasan seperti mengucapkan kata “sembilan” setiap kali melihat kereta api.
g. Anak-anak autis seringkali mengulangi pertanyaan biarpun telah mengetahui jawabannya atau memperpanjang pembicaraan mengenai topik yang disukainya tanpa memperdulikan kondisi lawan bicaranya.
h. Anak-anak autis sering mengulang katta-kata yang baru saja atau pernah mereka dengar tanpa bermaksud untuk melakukan komunikasi. Anak-anak autis sering berbicara pada diri mereka sendiri atau mengulangi potongan kata atau cuplikan lagu dari iklan di televise dan mengucapkannya di muka orang lain dalam suasana yang tidak sesuai.
i. Anak-anak autis mengalami gangguan dalam komunikasi non verbalnya. Mereka tidak menggunakan suatu gerakan tubuh tertentu dalam berkomunikasi seperti yang diakukan oleh orang lain. misalnya menggelengkan kepalanya, melambaikan tangan, mengangkat alis, dan sebagainya.
j. Anak-anak autis tidak menunjuk atau memakai gerakan tubuhnya untuk menyampaikan keinginannya tetapi mereka menggunakan tangan orang tuanya untuk mengambil objyek yang diinginkannya.

Gangguan perilaku yang terjadi pada anak autisme yaitu:
a. Anak-anak autis melakukan gerakan repetitive (pengulangan). Misalnya pada tingkahlaku motorik ritual seperti berputar-putar dengan cepat (twirling), memutar-mutar objek, mengepak-ngepakkan tangan (flapping), bergerak maju mundur atau kiri kanan (rocking).
b. Anak-anak autis terlihat asik sendiri dengan aktivitasnya atau preokupasi dengan objek dan memiliki rentang minat yang terbatas. Misalnya mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk untuk bermain dengan satu objek saja.
c. Anak-anak autis sering memaksa orang tuanya untuk mengulang suatu kata atau potongan kata.
d. Anak-anak autis mengalami kesulitan untuk dipisahkan dari benda yang disukainya dan menolak untuk meninggalkan rumah tanpa membawa benda tersebut. Misalnya seorang anak laki-laki yang selalu membawa penghisap debu kemanapun.
e. Anak-anak autis tidak suka dengan perubahan yang ada di lingkungannya atau perubahan yang terjadi pada rutinitasnya.

Selain itu, Siegel (1996) juga mengatakan bahwa individu ASD memiliki ciri khas dalam mempersepsi dunia yaitu (Mangunsong, 2009):
a. Visual thinking
Anak-anak autis lebih mudah memahami hal konkret daripada abstrak. Biasanya ingatan mereka akan berbagai konsep tersimpan dalam bentuk file video atau gambar sehingga membuat mereka membutuhkan waktu yang lama dalam proses berpikir dan menjawab pertanyaan.
b. Processing problem
Anak-anak autis mengalami kesulitan dalam memproses data. Mereka terbatas dalam memahami common sense atau berpikir menggunakan nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang, sulit mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal atau lisan.
c. Sensory sensitives
Anak-anak autis memiliki sensitivitas terhadap 3 hal yaitu
- Sound sensitivity dimana terjadi ketakutan berlebihan pada suara keras atau bising sehingga membuat cemas, binggung, terganggu, dan berperilaku buruk, atau bergumam untuk meredam suara tersebut.
- Touch sensitivity yaitu kepekaan terhadap sentuhan ringan maupun dalam dan terwujud dalam bentuk masalah perilaku seperti perilaku masalah makan dan berpakaian.
- Rhythm sensitivity dimana individu sulit mempersepsi irama yang terampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda, dan waktunya masuk ke dalam percakapan sehinga banyak anak autis yang terus menerus berbicara, menyela pembicaraan, dan sebagainya.
d. Communication frustration
Gangguan perkembangan bicara dan bahasa membuat anak-anak autis sering frustasi. Mereka mungkin dapat mengerti orang lain apabila orang lain berbicara langsung pada mereka. Namun mereka sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta mereka menjawab atau merespon tanpa harus ditanya secara langsung. Hal ini dikarenakan mereka menganggap pembicaraan tersebut tidak melibatan mereka dan akhirnya membuat mereka menjadi frustasi.
e. Social and emotional issues
Anak-anak autis mengalami fiksasi atau keterpakuan pada sesuatu yang membuat mereka cenderung berpikir kaku. Umumnya mereka tidak bisa membayangkan bahwa orang lain bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini membuat mereka sulit beradaptasi dan berempati apabila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan.
f. Problems of control
Anak-anak autis memiliki kesulitan untuk mengontrol diri sehingga muncul masalah perilaku seperti perilaku ritual dengan pola tertentu, keterpakuan pada objek tertentu, dan ketakutan pada hal-hal yang tidak mereka mengerti.

Klasifikasi
Yatim (2002) mengemukakan anak yang mengalami gangguan autism dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu
a. Autisme persepsi
Autisme persepsi dianggap sebagai autisme asli kerena kelainan autisme sudah terjadi sebelum lahir. Autisme ini terjadi karena berbagai faktor baik itu berpengaruh dari keluarga (herediter), maupun pengaruh lingkungan (makanan, rangsangan) maupun faktor lainnya.
b. Autisme reaksi
Autisme reaktif timbul dikarenakan adanya beberapa permasalahan yang menimbukan kecemasan seperti orang tua meninggal, sakit berat, pindah rumah/sekolah dan sebagainya. Autisme reaktif memunculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang-kejang.
c. Autisme yang timbul kemudian
Autisme jenis ini terjadi setelah anak agak besar dikarenakan adanya kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit memberikan pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dari hasil interaksi dengan lingkungannya.

Identifikasi
Identifikasi/asemen pada anak autisme dapat dilakukan dengan melakukan wawancara, observasi, dan menggunakan instrument atau pedoman informasi. Misalnya dengan menggunakan CHAT dan CARS.
1. Wawancara dilakukan untuk dapat mengetahui data biografi tentang:
a. Data keluarga pasien
b. Riwayat kehamilan ibu
c. Riwayat perkembangan dan pertumbuhan
d. Riwayat kesehatan
e. Perilaku sehar-hari yang sering muncul atau dikeluhkan

2. Observasi mengenai:
a. Kemampuan sosialisasi
b. Perkembangan emosi, status, dan pola regulasi emosi
c. Perkembangan bahasa dan kemampuan komunikasi
d. Perkembangan kognitif dan kemampuan imajinasi
e. Pola permainan
f. Perilaku imitasi
g. Perilaku stereotype
h. Kelekatan terhadap objek
i. Kontak mata
j. Aktivitas motorik/hiperaktif
k. Memori dan konsentrasi

3. Penggunaan instrument atau pedoman informasi. Misalnya dengan menggunakan CHAT dan CARS.

Selain itu, ada tiga teori utama yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan autistic (Mangunsong, 2009) yaitu
a. Excecutive functions
Meliputi beberapa hal seperti working memory, self regulation of emotion, dan kemampuan merencanakan. Oznoff (1997) menyebutkan bahwa banyak individu autis yang mengalami kesulitan dengan fungsi eksekutifnya.
b. Central coherence
Yaitu inklinasi natural bagi sebagian besar manusia untuk mengatur dan menemukan makna dari informasi yang ada di lingkungannya dengan mempersepsinya sebagai keseluruhan yang bermakna daripada hanya sebagian-sebagian. Individu autis memiliki central coherence yang lemah. Mereka berfokus pada detail sesuatu yang dilihatnya seperti yang diungkapkan dalam kalimat “tidak mampu melihat hutan dari pohon-pohon”.
c. Theory of mind
Yaitu suatu kemampuan seseorang untuk mengetahui perspektif orang lain atau suatu kemampuan untuk dapat mengetahui pikiran dan perasaan orang lain. misalnya inatensi, perasaan, keyakinan, dan keinginan. Individu dengan ASD mengalami kesulitan untuk mengetahui pikiran dan perasaan orang lain. Sebagian dari mereka juga ada yang tidak memahami bahwa pikiran mereka berbeda dengan orang lain.

Tes-tes Psikologi
Ada beberapa tes psikologi yang digunakan untuk mengidentifikasi anak autis (Fauzia, dkk 2009) yaitu
a. Tes psychoeducational profile revised (PEP-R)
Tes ini dikembangkan oleh Teach dan merupakan sebuah program pendidikan khusus untuk anak autisme. Tes ini digunakan untuk anak autisme atau yang terganggu perkembangannya. Tes ini dipakai pada anak-anak denga usia kronologis 6 bulan sampai 7 tahun.
Tes PEP-R memberikan informasi tentang fungsi perkembangan seperti imitasi, persepsi, keterampilan motorik halus, koordinasi mata dan tangan, performasi kognitif dan kognisi verbal. Tes ini juga dapat mendeteksi masalah-masalah dalam hal relasi dan afeksi, permainan dan minat terhadap benda dan respon penginderaan dan bahasa. Hasil dari tes ini dapat digunakan untuk membuat rencana pendidikan individual anak sehingga guru dapat dengan mudah menangani anak autisme.
b. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
Tes ini mengklasifikan empat domain atau ranah adaptif utama yaitu ranah komunikasi, keterampilan sehari-hari, sosialisasi, dan keterampilan motorik yang disertai dengan komposit perilaku adaptif dan maladaptif. Hasil tes ini menunjukkan anak autism berada pada kriteria kematangan sosial yang jauh dibawah rata-rata anak seusianya.
5. EEG (Electroencephalograph)
Jika autisme dikaitkan dengan kondisi kesehatan maka akan terlihatperbedaan aktivitas serotonin meskipun tidak terlihat begitu jelas. Namun pada pemeriksaan yang menggunakan EEG menunjukkan adanya abnormalitas yang terlihat pada anak autisme.

Permasalahan yang dihadapi
Ada beberapa permasalahan dalam berbagai area yang dialami oleh anak autis (Fauzia, dkk 2009) yaitu
a. Komunikasi
- Mengalami keterlambatan dalam berbicara, tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan gerak dan mimik.
- Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain.
- Sering mengulang apa yang dikatakan orang lain.
- Meniru kalimat-kalimat iklan atau nyanyian tanpa mengerti maksudnya.
-Berbicara mengenai sesuatu yang tidak digunakan untuk berkomunikasi.
- Mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti maksudnya.
- Tidak memahami pembicaraan orang lain.
- Menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu
b. Kognitif
Sebagian besar individu autis menunjukkan kekurangan dalam hal kognitif yang mirip dengan individu yang mengalami keterbelakangan mental. Hampir 75-80% mengalami retardasi mental dengan derajat sedang (widyawati, 2002). Namun pada kenyataannya ada gangguan yang terjadi secara khusus pada kognitif anak autisme yaitu
- Anak-anak autisme mengalami kesulitan dalam koding dan kategorisasi informasi.
- Anak-anak autisme mengandalkan terjemahan secara literal
- Anak-anak autisme mengingat sesuatu berdasarkan lokasinya di ruangan daripada pemahaman konsepnya. Misalnya: “belanja” bagi ank autis berarti pergi ke toko tertentu di jalan tertentu dan bukan memahaminya sebagai konsep mengunjungi toko untuk mencari atau membeli sesuatu.
- Anak-anak autisme memiliki “echo box-like memory store”. Hal ini menjelaskan mengapa anak autis ahli dalam menyusun puzzle atau membangun sesuatu dari balok, matching tasks, atau mengambar replica.
- Anak-anak autisme lemah dalam tugas-tugas yang membutuhkan pemahaman verbal dan bahasa yang ekspresif. Adanya perbadaan yang juga terjadi antara kemampuan visual dan spasial dengan kemampuan bahasa dan konseptual yang disebut oleh Temple Grandin sebagai thinking in pictures.
c. Persepsi sensori
Sebagian individu autis mengalami hyperresponsiveness atau hyporesponsiveness terhadap stimulus tertentu dalam lingkungan. sebagian dari mereka mengalami hipersensitif terhadap stimulus visual dan sebagian lainnya pada sentuhan. Namun ada juga yang sangat tidak responsive terhadapstimulus auditori, visual, atau sentuhan (tactile). Mereka dapat terlihat seperti buta dan tulis akibat hal tersebut. Namun sebagian yang lainnya lagi memiliki kombinasi hipersensitif dan hiposensitif.
d. Sensori atau penginderaan
- Menjilat-jilat benda
- Mencium benda-benda atau makanan
- Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
- Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
e. Perilaku motorik
- Gerakan motorik stereotype seperti bertepuk-tepuk tangan dan menggoyang-goyangkan tubuh.
- Hiperaktivitas pada anak pra sekolah tetapi ada pula yang mengalami hipoaktivitas.
- Gangguan pemusatan perhatian dan impulsivitas.
- Terganggunya koordinasi motorik seperti tip toe walking, clumsiness, kesulitan belajar mengikat tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, dan mengancing baju.
f. Gangguan tidur dan makan
- Terbaliknya pola tidur, terbangun saat tengah malam.
- Enggan terhadap makanan tertentu karena tidak menyukai tekstur atau baunya.
- Menuntut hanya makan makanan yang terbatas.
- Menolak mencoba makanan baru.
- Pika.
g. Gangguan afek dan mood
- Perubahan mood yang tiba-tiba terjadi. Misalnya menangis atau tertawa tanpa alasan yang jelas.
- Tertawa sendiri.
- Takut pada objek yang sebenarnya tidak menakutkan.
- Cemas atau depresi berat.
h. Gangguan tingkah laku agresif dan membahayakan
- Mengigit tangan atau jari sendiri sampai berdarah, membentur-benturkan kepala, mencubit, menarik rambut atau memukul diri sendiri.
- Temper tantrums seperti marah-marah, membanting-banting meja, menghentakkan kursinya ke tembok yang terbuat dari kayu, berupa ledakan agresivitas tanpa pemicu.
- Kurang memiliki perasaan terhadap bahaya.
i. Gangguan kejang
- Kejang epilepsi pada sekitar 10-25% anak autis. Ada korelasi tinggi antara serangan kejang dengan beratnya retardasi mental, derajat disfungsi susunan syaraf pusat.

Model pendidikannya
Sussman (1999) gaya belajar dominan pada anak autis (Mangunsong, 2009) yaitu
a. Rote learner
Gaya belajar anak autis yang cenderung menghafal informasi apa adanya tanpa memahami arti simbol yang dihafalkan. Misalnya anak autis dapat mengucapkan huruf alfabet secara lengkap tetapi tidak mengetahui bahwa huruf-huruf tersebut dapat digabungkan dengan huruf lain dan menghasilkan kata yang bermakna.
b. Gestalt learner
Gaya belajar anak autis yang menggunakan gaya Gestalt yaitu melihat sesuatu secara global. Anak autis akan belajar menghafal kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata per kata. Contoh ketika anak autis diberikan mainan yang biasa dimainkan lalu anda menyuruh mereka untuk meletakkannya di air maka mereka akan meletakkannya di air. Namun ketika anak autis diberi mainan yang sama lalu menyuruh mereka untuk meletakkan mainannya di meja maka mereka akan tetap meletakkan mainannya di air.
c. Visual learner
Anak-anak autis lebih senang melihat buku, gambar, atau menonton televise. Mereka lebih mudah memahami informasi yang langsung dapat dilihatnya daripada informasi yang hanya dapat mereka dengar.
d. Hands on learner
Anak-anak autis lebih mudah mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman. Contohnya anda meminta anak autis meletakkan tangannya di gagang pintu dan membantu tangannya membuka sambil mengucapkan kata “buka”. Maka ketika nanti anda mengatakan kembali kata “buka” maka mereka akan menuju pintu dan melakukan apa yang telah anda tunjukkan pada mereka.
e. Auditory learner
Anak-anak autis senang berbicara dan mendengarkan orang lain. Namun gaya belajar ini biasanya digabungkan dengan gaya belajar yang lain bagi anak autis dalam proses belajarnya.

Ada beberapa model pendidikan yang biasanya diberikan pada anak autis (http://whannik-plbuns2012.blogspot.com/2012/11/model-pelayanan-pendidikan-untuk-anak.html) yaitu
1. Kelas transisi
Kelas transisi diberikan bagi anak autistik yang telah diterapi dan memerlukan layanan khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
2. Program Pendidikan Inklusi
Program ini dilaksanakan pada sekolah reguler yang sudah siap memberikan layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus memenuhi persyaratan antara lain:
a. Guru telah siap menerima anak autistik
b. Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk penanganan individual
c. Tersedia guru pembimbing khusus dan guru pendamping.
d. Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2 (dua) anak autistik dan lain-lain.
3. Pragram Pendidikan Terpadu
Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam kasus/ waktu tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
4. Sekolah Khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
5. Program Sekolah di Rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang non verbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan auditorinya dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orangtua dan masyarakat.
6. Panti (griya) Rehabilitasi Autis
Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan:
a. Pengenalan diri
b. Sensori motor dan persepsi
c. Motorik kasar dan halus
d. Kemampuan berbahasa dan komunikasi
e. Bina diri, kemampuan sosial
f. Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensinya.
Dari beberapa model layanan pendidikan di atas yang sudah eksis di lapangan adalah Kelas transisi, sekolah khusus autistik dan panti rehabilitasi.

Di dalam dunia pendidikan, ada beberapa pendekatan model belajar yang digunakan bagi anak autis (https://ruuummppiiii.wordpress.com/2012/06/20/makalah-pengantar-pendidikan-anak-kebutuhan-khusus-tentang-autis/) yaitu
1. Discrete Tial Training (DTT): Training ini didasarkan pada Teori Lovaas yang mempergunakan pembelajaran perilaku. Dalam pembelajarannya digunakan stimulus respon atau yang dikenal dengan orperand conditioning. Dalam prakteknya guru memberikan stimulus pada anak agar anak memberi respon. Apabila perilaku anak itu baik, guru memberikan reinforcement (penguatan). Sebaliknya perilaku anak yang buruk dihilangkan melalui time out/ hukuman/kata “tidak”
2. Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Programfor Preschoolers and Parents) menggunakan stimulus respon (sama dengan DTT) tetapi anak langsung berada dalam lingkungan sosial (dengan teman-teman). Anak auitistik belajar berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain.
3. Floor Time merupakan teknik pembelajaran melalui kegiatan intervensi interaktif. Interaksi anak dalam hubungan dan pola keluarga merupakan kondisi penting dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan kemampuan anak dari segi kumunikasi, sosial, dan perilaku anak.
4. TEACCH (Treatment and Education for Autistic Childrent and Related Communication Handicaps) merupakan pembelajaran bagi anak dengan memperhatikan seluruh aspek layanan untuk pengembangan komunikasi anak. Pelayanan diprogramkan dari segi diagnosa, terapi/treatment, konsultasi, kerjasama, dan layanan lain yang dibutuhkan baik oleh anak maupun orangtua.

Pendidikan  dan pengajaran bagi anak autistik pada umumnya dilaksanakan berdasarkan pada berbagai prinsip (https://ruuummppiiii.wordpress.com/2012/06/20/makalah-pengantar-pendidikan-anak-kebutuhan-khusus-tentang-autis/)yaitu
a. Terstruktur
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik diterapkan prinsip terstruktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran dimulai dari bahan ajar/materi yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat diatasnya namun merupakan rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya.
Contohnya  untuk mengajarkan anak mengerti dan memahami makna dari instruksi “letakkan buku di meja”. Maka materi pertama yang harus dikenalkan kepada anak adalah konsep pengertian kata “letakkan”, “buku”, dan “meja”. Setelah anak mengenal dan menguasai arti kata tersebut langkah selanjutnya adalah mengaktualisasikan instruksi “letakkan buku di meja”kedalam perbuatan kongkrit. Struktur pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik meliputi struktur waktu, Struktur ruang, dan struktur kegiatan.
b. Terpola
Kegiatan anak autistik biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu dalam pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Namun, bagi anak dengan kemampuan kognitif yang telah berkembang, dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak dapat menerima perubahan dari rutinitas yang berlaku (menjadi lebih fleksibel). Diharapkan pada akhirnya anak lebih mudah menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan behavior therapi).
c. Terprogram
Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip dasar sebelumnya. Sebab dalam program materi pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga apabila target program pertama tersebut menjadi dasar target program yang kedua, demikian pula selanjutnya.
d. Konsisten
Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autistik, prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Hal ini bermaksud agar jika anak berperilaku positif atau memberi respon positif terhadap susatu stimulan (rangsangan), maka guru pembimbing harus cepat memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula apabila anak berperilaku negatif (Reniforcement). Hal tersebut juga dilakukan dalam ruang dan waktu lain yang berbeda (maintenance) secara tetap dan tepat, dalam arti respon yang diberikan harus sesuai dengan perilaku sebelumnya.
e. Kontinyu
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik sebenarnya tidak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Maka prinsip pendidikan dan pengajaran yang berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak autistik. Kontinyu disini meliputi kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaannya. Kontinyuitas dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan dirumah dan lingkungan sekitar anak. Kesimpulannya, terapi perilaku dan pendidikan bagi anak autistik harus dilaksanakan secara berkesinambungan, simultan dan integral (menyeluruh dan terpadu).

Dalam kluth (2004) ada beberapa masuk mengenai desain kelas yang dapat digunakan oleh anak autism (Mangunsong, 2009) yaitu
a. Lighting (pencahayaan)
Pencahayaan sering kali menjadi masalah bagi anak autis. Hal ini membuat guru melakukan beberapa kali eksperimen mengenai hal tersebut. Guru dapat menggunakan lampu yang kurang terang di dalam kelas atau menyalakan lampu di bagian depan  dan mematikan lampu di bagian belakang. Selain itu, ada juga guru yang menempatkan lampu disekitar ruangan untuk menciptakan cahaya yang tidak menyakitkan bagi semua siswanya.
b. Sound
Guru dapat memindahkan siswa autis yang bermasalah dengan suara ke tempat yang jauh dari suara, menggunakan suara lembut jika memungkinkan, dan memperbolehkan siswanya menggunakan headphones atau earplugs padasaat tertentu atau ditempat-tempat tertentu. Selain itu, guru juga dapat mengecilkan suaranya di dalam kelas jika hal tersebut dapat dilakukan.
c. Safe space
Banyak anak autis yang mengatakan bahwa mereka membutuhkan ketenangan. Hal ini membuat guru sebaiknya menyiapkan tempat khusus bagi anak autis untuk dapat belajar disana atau melakukan relaksasi untuk membuat kondisi mereka menjadi lebih tenang dan nyama. Selain itu, guru juga dapat mengatur beberapa bangku di bagian belakang kelas untuk dapat digunakan bagi siswa autis yang membutuhkan istirahat.

Intervensi
a. Target perilaku
1. Peningkatan sensori motor pada anak autisme
Untuk meningkatkan sensori motor pada anak autisme dapat menggunakan terapi sensori integrasi. Dalam terapi sensori integrasi ini lebih menekankan pada pengembangan propioceptive (posisi tubuh), tactile (peraba), dan vestibular (keseimbangan) sebagai dasar untuk pengembangan motorik halus (fine motor) dan motorik kasarnya (groos motor). Dan dalam pelaksanaan terapi, kontak mata adalah kunci untuk bisa masuk pada anak sehingga kegiatan dapat dilakukan dan menjadi bermakna. Hal ini membuat terapi sensori integrasi efektif atau telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan sensorimotor anak autis. Hal ini terbukti semua bentuk kegiatan  dalam terapi ini melatih anak untuk peka terhadap stimulus sensori baik dari dalam maupun luar tubuhnya untuk mendapat respon yang bermakna. Kekurangan terapi ini adalah hasil dari terapi tidak dapat bisa langsung dilihat hasilnya memerlukan waktu dan keterlatenan.
2. Peningkatan komunikasi, pemahaman dalam mengenal lingkungan, dan kemandirian bagi anak autisme.
Untuk meningkatkan komunikasi, pemahaman dalam mengenal lingkungan, dan kemandirian bagi anak autism dapat menggunakan metode dukungan visual body language, metode dukungan visual natural environment, dan metode dukungan traditional for organizer and giving information.
Metode dukungan visual body language berupa ekspresi wajah, menunjuk, memegang, menggerakkan tangan, menggelengkan kepala, menganggukkan kepala membantu anak autisme dalam berkomunikasi. Metode dukungan visual natural environmental cues diberikan oleh terapis berupa gambar dan benda-benda sekitar memiliki tiga tahapan yaitu identifikasi, menyamakan, dan melabel. Dukungan visual ini membantu anak dalam pemahaman yang mudah dalam mengenal lingkungan. Metode dukungan visual traditional for organizer and giving information berupa compic (papan yang terdapat kartu bergambar kegiatan anak), jadwal visual, cerita sosial dan kartu aktivitas membantu anak dalam kemandirian memilih, kemandirian waktu dan memahami suatu kejadian.
Dampak respon positif metode dukungan visual pada pemahaman yaitu anak memberikan membantu respon yang tepat pada perintah subyek saat pembelajaran melalui metode natural environmental cues. Dampak respon positif pada komunikasi terlihat dalam penggunaan metode visual body language dan Traditional tools for organizing and giving information. Adanya kontak mata, bahasa tubuh yang diperlihatkan subyek pada anak, membantu komunikasi anak dan terapis. Dampak respon positif pada kemandirian terlihat pada penggunaan metode visual traditional tools for organizing and giving information, anak mampu memilih sendiri yang diinginkannya.
3. Peningkatan keseimbangan bagi anak autisme dengan terapi bermain berjalan.
Ada beberapa hal yang diperhatikan dalam melakukan  permainan ini yaitu:
a. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jejak kaki yang terbuat dari triplek dengan panjang pola kaki 20 cm yang sudah diberi warna, Tali sepanjang 4 meter, karpet sepanjang 4 meter.
b. Peraturan permainan berjalan di atas jejak kaki yaitu siswa harus memijak jejak kaki dengan baik/ pas maksudnya posisi kaki anak tidak terlalu kedepan atau terlalu kebelakang, siswa tidak boleh memijak karpet, siswa harus memijak jejak kaki sesuai dengan pola yang ada, maksudnya jejak kaki kiri untuk kaki kiri dan jejak kaki kanan untuk kaki kanan, guru tidak boleh memarahi anak kalau anak melakukan kesalahan.
c. Langkah- langkah permainan berjalan di atas jejak kaki yaitu guru terlebih dahulu menyiapkan semua alat yang dibutuhkan, guru harus menempel jejak kaki di atas karpet yang disediakan, diantara jejak kaki yang kiri dan kanan diberi tali yang berfungsi sebagai garis tengah, jarak antara jejak kaki kanan dengan jejak kaki kanan yang di depannya 30 cm, siswa diminta berdiri di ujung karpet yang telah di tempel jejak kaki, guru membimbing siswa untuk menginjak jejak kaki yang sudah ditempel dikarpet, siswa diminta jalan mengikuti jejak kaki dengan ayunan tangan.
4. Terapi perilaku yang dilakukan secara intensif dapat memiliki efek yang positif bagi perubahan perilaku pada anak autisme.
Penelitian ini dilakukan selama 2 tahun dengan menggunakan metode lovas yang diberikan pada anak-anak autisme. Metode lovas ini tidak hanya diberikan oleh terapis, namun juga dilakukan oleh guru dan orang tua sehingga anak autis setiap harinya mendapatkan terapi dari orang disekitarnya sehingga membuat mereka dapat menghasilkan perilaku yang baik di lingkungan sosialnya. Metode lovas ini berbasis pada teori operant conditioning yaitu adanya pemberian reinforcement pada respon yang ditunjukkan oleh anak autis.
5. Terapi perilaku yang dilakukan dapat memperbaiki interaksi sosial pada anak autis di lingkungan sosialnya.
Pada penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan interaksi sosial pada anak autisme setelah menerima 15 kali sesi intervensi terapi perilaku selama 2 bulan.
6. Terapi Lego dan the Social Use of Language Programme (SULP) menunjukkan adanya peningkatan interaksi sosial dan menurunkannya perilaku maladaptif pada anak autisme.
Penelitian ini delakukan selama 18 sesi pada anak autisme yang memiliki keberfungsian yang tinggi dan pada anak sindrom asperger. Pada penelitian ini terapi Lego diukur dengan menggunakan GARL (Gilliam Autism Rating Scale).

Penelitiannya Terkait Autisme
1. Analisis terapi sensori integrasi terhadap  perkembangan sensorimotor anak autis di pusat terapi  dan sekolah berkebutuhan khusus permata bunda Surakarta oleh Ike Yulia Atuti pada tahun 2013.
2. Metode dukungan visual pada pembelajaran anak dengan autisme oleh Choirunisa Nirahma P dan Ika Yuniar C pada tahun 2012.
3. Efektifitas bermain berjalan di atas jejak kaki untuk meningkatkan keseimbangan anak autisme oleh Yerika Fauzia pada tahun 2012.
4. Behavioral treatment and normal educational and intellectual functioning in young autistic children oleh O Ivar Lovaas pada tahun 1987.
5. The Effectiveness of Applying Behavior Therapy’s Techniques  on Social Interaction of Autistic Children oleh Masume Kalantari, Majid Pakdaman, dan Majid Ebrahim Pour pada tahun 2013.
6. LEGO therapy and the social use of language programme: An evaluation of two social skills interventions for children with high functioning autism and asperger syndrome oleh Gina Owens, Yael Granader, Ayla Humphrey, dan Simon Baron-Cohen pada tahun 2008.


DAFTAR PUSTAKA

Fauzia., dkk. (2009). Apa dan bagaimana autism: Terapi medis alternatif. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Fauzia., Y. (2012). Efektifitas bermain berjalan di atas jejak kaki untuk meningkatkan keseimbangan anak autisme oleh Yerika Fauzia pada tahun 2012. Jurnal ilmiah pendidikan khusus volume 1 nomer 1 2012 diakses tanggal 3 agustus 2015 di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=24386&val=1496

Kalantari., M., Pakdaman., M., & Ebrahim., M., P. (2013). The Effectiveness of Applying Behavior Therapy’s Techniques  on Social Interaction of Autistic Children oleh Masume Kalantari, Majid Pakdaman, dan Majid Ebrahim Pour. IJFPSS, Vol 3, No.3, pp. 38-41, September 2013 di akses tanggal 3 agustus 2015 di http://fundamentaljournals.org/ijfpss/downloads/2_IJFPSS_Sept_2013_38_41.pdf

Lovass., O., I. (1987). Behavioral treatment and normal educational and intellectual functioning in young autistic children. Journal of counseling and clinical psychology 1987 vol. 55 no. 1, 3-9  di akses tanggal 3 agustus 2015 di http://www.beca-aba.com/articles-and-forms/lovaas-1987.pdf
Mangunsong., F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus (Edisi pertama). Jakarta: LPS3 UI.

Nirahma., C., P., & Yuniar., I., C. (2012). Metode dukungan visual pada pembelajaran anak dengan autisme diakses tanggal 3 agustus 2015. Jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental volume 1, no. 02, juni 2012 di http://journal.unair.ac.id/filerPDF/110810233_ringkasan_choirunnisa.pdf
Owens., G., dkk. (2008). LEGO therapy and the social use of language programme: An evaluation of two social skills interventions for children with high functioning autism and asperger syndrome. J Autism Dev Disord (2008) 38:1944–1957 DOI 10.1007/s10803-008-0590-6 di akses tanggal 3 agustus 2015 di http://www.researchgate.net/profile/Simon_BaronCohen/publication/5289502_LEGO_therapy_and_the_social_use_of_language_programme_an_evaluation_of_two_social_skills_interventions_for_children_with_high_functioning_autism_and_Asperger_Syndrome/links/00b7d515eed1ad7709000000.pdf

Yatim. (2002). Autisme suatu gangguan jiwa pada anak-anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor

Yuli., I., A. (2103).  Analisis terapi sensori integrasi terhadap  perkembangan sensorimotor anak autis di pusat terapi  dan sekolah berkebutuhan khusus permata bunda Surakarta. Jurnal publikasi diakses tanggal 3 agustus 2015 di http://eprints.ums.ac.id/24869/11/naskah_publikasi.pdf
___http://whannik-plbuns2012.blogspot.com/2012/11/model-pelayanan-pendidikan-untuk-anak.html
___https://ruuummppiiii.wordpress.com/2012/06/20/makalah-pengantar-pendidikan-anak-kebutuhan-khusus-tentang-autis/




No comments for "Anak Berkebutuhan Khusus: Autisme"